Tuesday, February 1, 2011

Contoh Bab Dua Disertasi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam

Pertanyaan yang menjadi judul bab ini dapat diterjemahkan baik sebagai ‘Apa itu Sains?’ atau ‘Apa itu Ilmu Pengetahuan Alam?’ Pertanyaan pertama akan diselidiki dalam sub bab 2.1, dimana pendekatannya adalah dengan memeriksa batasan antara sains dan sejumlah tipe pengetahuan lain seperti filsafat, teknologi, ilmu sosial dan saintisme, serta pengetahuan pribumi. Bagian dari pemeriksaan ini adalah pengenalan kebutuhan untuk memperjelas sifat kanon utama sains, berdasarkan definisi yaitu bagian terjauh dari batasan-batasan tersebut. Perbatasan epistemologis demikian telah dikritik luas dalam kesarjanaan pasca kolonial atas peran mereka dalam pemikiran dan praktek ekslusi (Carter, 2006). Walau demikian, penulis akan berpendapat untuk manfaat (dari sudut pandang Melayu) untuk mengklarifikasikan batas-batas sains, untuk meletakkan sains tetap ‘pada tempatnya’. Sebagian dari peneliti dasar-dasar ‘sains’ menghasilkan sejumlah ciri sains, ciri yang dapat dipahami merujuk pada bagian sains yang berada di antara kanon pusatnya dan perbatasannya. Pembahasan ini penting untuk membangun dan memperjelas istilah Ilmu.
Pertanyaan alternatif judul bab akan dibahas di sub bab 2.2, yang menjelaskan penjelasan mengenai perkembangan istilah Ilmu Pengetahuan Alam, sebagaimana tercermin dalam wacana dalam kebijakan kurikulum sains Indonesia selama tahun 1980an dan 1990an. Bagian akhirnya, sub bab 2.3, menarik bersama pembahasan wacana terbaru Ilmu Pengetahuan Alam yang disajikan dalam dua bab pertama, dengan beberapa kesimpulan pendahuluan, untuk memetakan langkah selanjutnya disertasi ini.
Sebuah proses kritik dan dekonstruksi konsepsi Pencerahan sains sebagai pengetahuan ‘murni’ telah berkembang selama 40-50 tahun terakhir (Hanson, 1958). Proses umum kritik sains ini telah diperbarui dengan perkembangan terbaru di bidang filsafat yaitu postmodernisme dan poststrukturalisme. Kedua wacana ini (dalam sains dan filsafat) terkait erat namun tidaklah identik, sehingga memperlakukan keduanya sebagai objek analisis yang terpisah, yaitu ‘pengetahuan sains’ dan ‘filsafat sains’. Pandangan ini tercermin dalam frase Richard Duschl (1985) ‘pengembangan eksklusif bersama’ untuk menjelaskan 25 tahun pendidikan sains dan filsafat sains. Begitu juga, Reuben Hersh (1994) mencatat bahwa ‘filsuf matematika mengabaikan matematika dan matematikawan’.
Dua jalur kritik penting dalam debat ini (dalam sains dan filsafat) datang dari feminisme dan anti rasisme (misalnya
Wertheim, 1997; Harding, 1993; Haraway, 2004), yang keduanya dapat dipandang sebagai klaim oleh kelompok-kelompok sub alternatif dalam masyarakat (Gramsci, 1992). Kelompok sub alternatif dalam masyarakat dapat memegang sudut pandang dan pengetahuan berbeda dari yang diwajibkan atau dipandang arus utama (misalnya permantraan dalam hal kedokteran). Salah satu tipe pengetahuan berbeda atau ‘subjugasi’ (Faucault, dikutip dalam Webster, 1996), yang telah luas dibahas dalam debat sains dan filsafat, adalah pengetahuan pribumi (Indigenous Knowledge – IK), Melayu Tua dapat dipandang sebagai contohnya. Sebagian karena perannya dalam debat filsafat (Loving, 1997), telah ada pengakuan ragu dari klaim IK untuk dipandang sebagai bentuk alternatif sains yang sah (Peters, 1993) – argumennya, dengan kata lain, untuk pandangan pluralis budaya sains (Hodson, 1999). Konsepsi pluralis terhadap sains sebagai sistem pengetahuan (Roberts, 1998) memberikan ruang untuk pertimbangan kliam IK (Henderson, 2000; Battiste, 2000) dan hal lain untuk status sains, namun tidak harus menunjukkan bahwa semua sains sama atau setara – ini tetap menjadi pertanyaan yang harus diselesaikan (Irzik, 2001).
Walaupun kata ‘sains’ dapat cukup berarti ‘pengetahuan sistematik,’ ia biasanya lebih tepat merujuk pada ‘sains alam’: yaitu fisika, kimia, biologi dan sub disiplinnya. Matematika, juga dipandang sains alam, namun biasanya diasingkan terpisah dalam kurikulum sekolah karena manfaatnya yang khas (Tymoczko, 1994; Hersh, 1994). Hal ini, kemudian menjadi makna asumtif kata ‘sains’, yang penting dalam mempertimbangkan posisi terdepannya dalam hirarki pengetahuan. Dalam literatur yang secara khusus mempertimbangkan hubungannya dengan bentuk pengetahuan kultural lainnya seperti mātauranga Māori (MoRST, 1995; Williams, 2001; Simon, 2003), makna ‘sains’ ini sering digantikan dengan penggunaan Sains modern barat (McKinley, 2005) Sains Barat(Roberts, 1998) atau Sains-B (Kawasaki, 2002). Penulis menggunakan istilah sains-B saat diperlukan di bawah untuk menghindari keraguan. Kemunculan banyak makna dan banyak ciri untuk ‘sains’(Aikenhead, 2000) menunjukkan sifatnya yang meragukan, yaitu perdebatan mengenai ‘apa yang dapat dinilai sebagai sains’ (Stanley and Brickhouse, 1994). ‘Sains sekolah’ misalnya, merujuk pada versi sederhana/disederhanakan dari sains sebagaimana disajikan dalam kurikulum sekolah tradisional, yang paling mungkin berperan sebagian dalam membangun dan mempertahankan makna ‘tak tertanda’ dan perbedaannya dari matematika. ‘Sains sekolah’ juga merupakan pendekatan yang berguna pada apa yang dimaksudkan oleh istilah ‘sains-B’ (dan istilah sejenis, lihat di atas) dalam literatur sains multibudaya.
Pandangan pluralis pada sains, yang merujuk pada defisinsi luasnya sebagai ‘pengetahuan sistematik’, membuka pintu masuk pada inklusi sejumlah besar basis pengetahuan, sebagai budaya manusia menjadi terpuaskan dan tersistematiskan (dengan bantuan sains-B dan teknologi-B). Kini menjadi sulit untuk mementukan daerah pengetahuan yang tetap pasti berada di luar gerbang sains pluralis (Irzik, 2001). Salah satu hasil pandangan pluralis sains karenanya adalah perlunya penggunaan istilah resmi seperti sains-B atau sains alam, saat kita ingin menggunakan makna ‘sains’ yang lebih terbatas, walaupun, seperti dicatat di atas, diluar kesarjanaan kritis, ‘fisika, kimia dan biologi’ tetap menjadi makna asli asumtifnya (Gregory, 2001).
2.1 Sifat Sains
Dalam salah satu studi paling terkenal pada sifat sains, Thomas Kuhn (1970) membahas penggunaan kata ‘paradigma’ nya pada makna ‘matriks disipliner’ dari generalisasi, keyakinan dan nilai simbolik serta seperangkat contoh atau penerapan pengetahuan matriks disipliner, dimana semua anggota masyarakat ilmiah tertentu bersatu untuk belajar, mengajar dan menerapkannya dalam praktek disiplin mereka. Kuhn menggunakan konsep paradigmanya dalam menjelaskan bagaimana kemajuan dalam sains dicapai. Ia menyarankan bahwa ‘sains normal’ merupakan penumpukan tetap pengetahuan dalam disiplin terspesialisasi, hingga informasi baru, atau kemajuan teknologi baru, mengkatalisis perubahan dalam sebagian aspek ‘matriks disipliner’ atau paradigma disiplin tersebut (dan masyarakat ilmuan, mahasiswanya dsb) yang disebut ‘revolusi ilmiah’. Ini adalah rumusan asli dari apa yang sekarang umum dirujuk sebagai ‘pergeseran paradigma’. Kuhn tertarik dalam memahami tampilan masyarakat ilmiah dan prakteknya yang memungkinkan sains tetap menumpuk pengetahuan. Ini juga merupakan kritik awal pada dogma yang diterima dari sifat imparsial dan objektif pekerjaan ilmuan dan manfaatnya yang tidak dipertanyakan dalam metodologi (seperti dalam metode ilmiah) untuk menilai kemajuan ilmiah.
Kuhn memperjelas (dalam postskrip pada edisi kedua studinya, diterbitkan dalam tahun 1970, tujuh tahun setelah kemunculan pertamanya) bahwa ‘teori atau seperangkat teori’ adalah istilah yang lebih tepat untuk sebagian besar dari apa yang ia sebut sebagai ‘paradigma’ dalam teks aslinya. Kuhn juga menyadari pentingnya ‘eksemplar’ dalam melokalisir dan mengkonkretisasi isi kognitif sains: ‘Dalam ketiadaan eksemplar tersebut, hukum dan teori yang dipelajarinya sebelumnya akan mengandung muatan empiris yang minim’ (hal. 188). Setelah mendapatkan fasilitas dalam disiplin ilmiah tertentu, Kuhn berpendapat bahwa para ilmuan bekerja dan berkomunikasi (dengan ilmuan lain dalam disiplin yang sama) dengan sejumlah besar ‘pengetahuan faham (tacit knowledge)’ yang bersama dengan ‘pengetahuan yang dipelajari’ menyusun paradigma ilmiah. Hal ini serupa dengan penjelasan Michael Polanyi mengenai kesadaran subsider dan fokal ilmuan (Kim, 2005) dan Kuhn juga mengakui hal ini dalam postskripnya (Kuhn, 1970, hal.191).
Karya Kuhn secara luas dipandang sebagai pembersih dalam pengembangan istilah paradigma penelitian dalam ilmu sosial. Malahan, karyanya dan perbedatan mengenai sifat sains secara umum tampaknya lebih penting bagi ilmuan sosial (Hoyningen-Huene dan Sankey, 2001) daripada bagi para ilmuan yang terlatih dalam fisika, kimia atau biologi, dari ranking dimana hampir semua guru sains diambil. Hal ini karena daerah terakhir dari sains-B ini masih berdasarkan sebagian besar pada model empiris disiplin tersebut, metode ilmiah serta pada akhirnya, alam semesta, yang berarti para ilmuan dalam bidang ini jarang memeriksa sifat realitas atau pengetahuan, yaitu isu ontologi dan epistemologi. Jelas, ada kebutuhan pada pelatihan guru sains untuk mengalamatkan pengabaian filosofis ini.
Walau begitu, Kuhn tidak memasukkan sains sosial kedalam pembahasan paradigmanya – ‘masih menjadi pertanyaan terbuka mengenai bagian apa dari sains sosial yang memiliki paradigma demikian’(Kuhn, 1970, hal.15). Dalam postskrip tahun 1970, mencerminkan resepsi karyanya dan istilah ‘pergeseran paradigma’ sebagai revolusi ilmiah, ia mengatakan:
Sejarawan sastra, musik, seni, perkembangan politik dan banyak aktivitas manusia lainnya telah lama menjelaskan subjek mereka dalam cara yang sama [sebagai perlanjutan periode terikat tradisi yang diperkini dengan jeda non kumulatif]. Bila saya ingin menjadi asli dalam melihat pada konsep seperti ini, maka adalah dengan menerapkannya pada sains, bidang yang telah sangat bergembang dalam berbagai cara (hal.208).
Kuhn menunjukkan disini bahwa ia menggunakan kata ‘sains’ dalam istilah tak tertanda (yaitu sainsB atau sains sekolah – lihat pembahasan di atas). Karenanya, dalam hal dimana Kuhn menggunakan istilah ‘paradigma’ atau ‘sains’, karyanya tidak secara langsung berlaku pada disiplin ilmu sosial seperti pendidikan. Cathleen Loving (1997) membahas penggunaan demikian dari studi Kuhn dengan judul ‘ekstrapolasi keraguan’. Makna baru dan diperluas dari istilah ini terus berkembang, namun dilihat dalam penggunaannya dalam wacana sains sosial kontemporer.
Sebagian besar dari apa yang dimasukkan Kuhn dalam ‘paradigma’ disiplin sains dirujuk sebagai ‘metodologi’ dalam sains sosial kontemporer, dengan pertindihan yang besar antara keduanya. Kuhn tidak membicarakan mengenai paradigma sebagai konsep realitas dasar ilmuan, walaupun, tentu saja, konsep tersebut inheren pada apapun yang sadar (Middleton, 1996). Walau begitu, dalam sains sosial masa kini, paradigma didefinisikan sebagai ‘jejaring premis epistemologis dan ontologis’ atau ‘seperangkat keyakinan dasar yang mengendalikan tindakan’ (Denzin dan Lincoln, 2000, hal.19). Perubahan perspektif istilah paradigma ini adalah point kunci karena ia telah memungkinkan (atau setidaknya menemani) perluasan istilah ‘apa itu sains’ untuk membawa pandangan pluralis pada sains.
Jadi pertanyaan ontologi dan epistemologi kurang penting dalam sebagian bidang sains, termasuk sains sekolah dan sains-B, dan lebih penting dalam bidang lain seperti sains sosial. Aspek filsafati ini menjadi memuncak dalam membahas klaim IK pada status sains. Menurut Elizabeth McKinley (1995, hal.69), ‘dalam tingkat filosofislah perdebatan terbesar antara sains positivis (dan pandangan sains lainnya) dengan pengetahuan pribumi ditemukan’.
Dan seterusnya …

No comments:

Post a Comment