Tuesday, February 1, 2011

Contoh Bab Pendahuluan Disertasi Manajemen Sumber Daya Alam dan Lingkungan

Di awal tahun 1950an, croaker bertubuh besar (Sciaenidae) yang disebut Bahaba china (Bahaba taipingensis), endemik di daerah ini, umum ditemukan sepanjang pesisir Laut China Selatan dan Timur (Gambar 1.1). Gelembung renangnya bernilai sebagai tonik dalam pengobatan tradisional China. Selama masa melimpah di muara-muara utama, nelayan lokal menangkap penumpukan bahaba menggunakan seines kantong artisanal dan jaring insang. Tangkapan lebih dari satu ton per angkat umum ditemukan dan individu dengan berat lebih dari 50 kg tidak jarang didapat. Perkiraan tidak langsung tangkapan tahunan dari Hong Kong lebih dari 50 ton per tahun di tahun 1940an (Sadovy dan Cheung, 2003). Walau begitu, di tahun 2000an, hanya beberapa individu per tahun yang tertangkap sepanjang seluruh pesisir China. Spesies ini sekarang terdaftar sebagai spesies “langka kritis” dalam Daftar Merah Spesies Terancam Punah IUCN (Baillie et al, 2004). Kisah ikan lainnya yang terancam oleh eksploitasi perikanan telah didokumentasikan pula, seperti common skate (Raja batis) di Laut Utara (Brander, 1981), grouper Nassau (Epinephelus striatus) di Karibia (Sadovy, 1993; Sala et al, 2001; Sadovy, 2005), dan wrasse kapala bungkuk di daerah Indo-Pasifik (Sadovy et al, 2003).
Eksploitasi samudera telah meningkat dengan cepat dalam dekade ini dan perikanan menjadi bentuk utama penggunaan langsungnya (Pauly et al, 2002). Berdasarkan statistik perikanan yang dikumpulkan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), pendaratan total yang dilaporkan dari laut meningkat dari kurang dari 20 hingga lebih dari 82 juta ton dari tahun 1950 hingga tahun 2000an. Bila tangkapan yang dibuang, ilegal, tidak dilaporkan dan tidak diatur juga dimasukkan, tangkapan global menanjak hingga hampir 150 juta ton pada akhir 1980an, yang kemudian menurun secara perlahan (Pauly et al, 2002). Tahun 2003, sekitar seperempat stok yang diawasi oleh FAO dikatakan dieksploitasi rendah (3 persen) atau menengah (21 persen). 52 persen dieksploitasi penuh (produksi dekat pada batas keberlanjutan maksimumnya), sementara sekitar seperempat lainnya dieksploitasi berlebihan (16 persen), menuju habis (7 persen) atau pulih dari hampir habis (1 persen). Hal ini mewakili peningkatan proporsi stok yang eksploitasi berlebihan atau mulai habis dari sekitar 10 persen di pertengahan 1970an menjadi hampir 25 persen di awal 2003 (FAO, 2004).
Gambar 1.1. Sebuah spesimen Bahaba taipingensis (> 2m) tertangkap 30 Desember 1993 di pesisir Teluk Castle Peak, Hong Kong barat, oleh penangkapan trawler secara tidak sengaja. Foto aslinya diterbitkan dalam Sadovy dan Cheung (2003).
1.1 Penangkapan sebagai ancaman konservasi utama ikan laut
Keruntuhan stok perikanan utama dan langkanya sejumlah ikan laut menyarankan bahwa spesies kelautan rentang pada penyusutan ekstrim, atau bahkan kepunahan, yang dihasilkan langsung atau tidak langsung dari penangkapan (Roberts dan Hawkins, 1999; Powles et al, 2000; Dulvy et al, 2003; Sadovy dan Cheung, 2003). Sementara mayoritas sumberdaya perikanan dunia dieksploitasi sepenuhnya dan berlebihan (Pauly et al, 2002; Hilborn et al, 2004a), penangkapan dipandang sebagai ancaman pelestarian utama ikan laut (Reynolds et al, 2001; Dulvy et al, 2003). Sejajar dengan skala penangkapan yang meningkat, kelimpahan banyak ikan laut telah menurun secara besar-besaran di penjuru dunia dalam lima dekade terakhir. Di Atlantik Utara, ikan tingkat trofik tinggi telah menurun dua pertiganya sejak tahun 1950an (Christensen et al, 2003). Selama 50 tahun terakhir, populasi anakan dari populasi ikan laut dari penjuru dunia menurun pada median 65%, dengan lebih 28 populasi yang menurun lebih dari 80% (Hutchings dan Reynolds, 2004; Reynolds et al, 2005a). Spesies penting komersial dapat diturunkan hingga tingkat rentan karena nilai ekonomisnya, misalnya Bahaba China (Bahaba taipingensis, Scianidae) (Sadovy dan Cheung, 2003), Tuna sirip biru selatan (Thunnus maccoyii, Scombridae) (Hayes, 1997). Walau begitu, spesies dengan nilai komersial rendah atau tidak memiliki nilai komersial tidak aman dari ancaman penangkapan karena spesies non target dapat terancam lewat penangkapan (misalnya Common skate, Raja batis, Rajiidae, Brander 1981; Barndoor skate, Raja laevis, Rajiidae, Casey dan Myers, 1998). Lebih jauh, aktivitas penangkapan dapat menciptakan gangguan dan kerusakan besar habitat bentik (Jennings et al. 2001; Kaiser et al. 2002; Kaiser et al. 2003). Penurunan dan kepunahan dapat berasosiasi dengan kehilangan habitat mendasar yang kritis untuk melengkapi siklus hidup spesies (McDowall 1992; Watling dan Norse 1998).
Penangkapan dapat juga menyebabkan hilangnya keanekaragaman genetik (Law, 2000). Sebagian populasi snapper Selandia Baru (Pagrus auratus, Hauser et al, 2002) dan kod Atlantik (Gadus morhua, Hutchinson et al, 2003) menunjukkan penurunan signifikan dalam keanekaragaman genetik selama sejarah eksploitasinya. Selain itu, ukuran populasi efektif menentukan sifat genetik sebuah populasi sekitar seperlima dari ukuran populasi sensus (kelimpahan total perkiraan) dalam beberapa populasi ikan yang dieksploitasi (Hauser et al. 2002; Hutchinson et al. 2003; Hoarau et al. 2004). Ukuran populasi efektif yang rendah dapat menghasilkan saling kawin dalam populasi dan hilangnya keanekaragaman genetik (Hauser et al. 2002; Hutchinson et al. 2003; Hoarau et al. 2004). Karenanya, diperlukan pengawasan dan pengaturan keanekaragaman genetik dari populasi laut yang dieksploitasi (Kenchington et al. 2003).
Hilangnya keanekaragaman hayati dapat langsung atau tidak langsung mempengaruhi fungsi ekosistem (Loreau et al. 2001; Worm & Duffy 2003; Worm et al. 2006). Pembuangan spesies kunci yang mencakup spesies yang kritis pada fungsi ekologis pada komunitas atau habitat dalam keadaan asal mereka (Zacharias dan Roff 2001), dapat menghasilkan pergeseran keadaan dalam ekosistem laut. Sebagai contoh, pembuangan berang-berang laut di Kepulauan Aleutian menghasilkan ekspansi populasi teripang yang segera menghabiskan ganggang besar berdaging seperti kelp dan mempengaruhi komunitas yang berkaitan (Tegner dan Dayton 2000; Jackson et al. 2001). Di sisi lain, penyusutan pemakan ganggang seperti ikan kakaktua membawa pada pertumbuhan ganggang besar-besaran pada permukaan karang yang sangat mempengaruhi ekosistem terumbu karang (Bellwood et al. 2004). Sebagian penelitian menyarankan bahwa keanekaragaman hayati berkorelasi secara positif dengan fungsi ekosistem (Tilman et al. 1997; Symstad et al. 1998; Worm et al. 2006), dan stabilitas serta resiliensi ekosistem (Tilman dan Downing 1994; Tilman 1996; Scheffer et al. 2001). Hal ini didukung oleh meta analisis data yang menunjukkan korelasi signifikan antara keanekaragaman hayati laut dan fungsi ekosistem (Worm et al. 2006). Jadi, secara umum disepakati bahwa kekayaan spesies yang tinggi diperlukan untuk mempertahankan stabilitas proses ekosistem melawan variabilitas lingkungan (Loreau et al. 2001).
1.2 Ikan laut mungkin rentan punah
Ada keyakinan umum di masa lalu bahwa ikan laut tidak akan dapat punah karena satu ekor betina dapat menghasilkan jutaan telur dan memiliki jangkauan geografis yang besar. Walaupun disadari bahwa elasmobranchiata (hiu dan pari) rentan punah karena sejarah hidup dan ekologinya (Smith et al. 1998; Stevens 1999; Stevens et al. 2000), banyak ikan yang masih dipandang tidak dapat habis oleh sebagian. Persepsi demikian bertahan semenjak Jean Baptiste de Lamarck menyatakan di awal abad ke-19 bahwa:
‘Hewan yang hidup di air, khususnya air laut, terlindungi dari kehancuran spesies mereka oleh manusia. Penggandaannya sangat cepat dan sifatnya untuk menghindari perangkap dan kejaran begitu baik sehingga tidak ada kemungkinan untuk menghancurkan seluruh spesies hewan ini’ (Lamarck 1809, dicetak ulang tahun 1984).
Ini berarti sejumlah kecil individu dewasa tetap ada di samudera dan dapat mengisi laut dengan ikan secara cepat, dengan asumsi bahwa sebagian besar telur dapat berkembang menjadi ikan dewasa kembali dalam beberapa tahun kemudian. Selain itu, ikan laut juga secara umum memiliki jangkauan geografis luas dan menghasilkan telur pelagis yang dapat mengambang bersama arus samudera. Karenanya populasi ‘entah dimana’ dapat selalu mengkolonisasi kembali daerah penyusutan lokal.
Miskonsepsi bahwa ikan yang bertelur sangat banyak (yaitu mayoritas teleost) resilien terhadap penangkapan (kemampuan populasi untuk pulih) telah dipelajari dengan serius dan sebagian besar telah berhasil disanggah (Sadovy 2001; Dulvy et al. 2003). Ikan bertelur banyak tidak sama dengan resilien pada penangkapan (kemampuan populasi pulih setelah menyusut akibat penangkapan). Resiliensi sangat tergantung pada kemampuan bertahan hidup dari kondisi telur menuju dewasa, bukannya kelimpahan per se (Sadovy, 2001). Ikan yang menghasilkan jutaan telur sekaligus biasanya memiliki strategi ‘lindung-taruh’ dimana produksi sejumlah besar telur di evolusikan untuk mengkompensasi kelangsungan hidup yang rendah dari telur menuju dewasa (Phillipi dan Seger 1989). Teori sejarah hidup memprediksikan bahwa ikan (dan vertebrata lainnya) yang berukuran besar (umumnya teleost bertelur banyak) dan lamban menjadi dewasa memiliki tingkat peningkatan populasi intrinsik (r) yang rendah (Smith et al. 1998; Musick 1999b; Reynolds et al. 2001). Hewan dengan r rendah memiliki kemampuan pulih yang rendah setelah pengurangan populasi, dan karenanya resiliensi rendah pada penangkapan. Ada contoh-contoh ikan bertelur banyak yang menjadi langka akibat penangkapan, misalnya bahaba China (Sadovy dan Cheung, 2003), grouper Nassau (Epinephelus striatus) (Sadovy 1993; Sala et al. 2001) dan wrasse kepala bungkuk (Cheilinus undulates) (Sadovy et al. 2003). Hubungan antara sejarah hidup ikan dan kerentanannya pada penangkapan akan dijelajahi lebih jauh secara detil nanti.
Jangkauan geografis yang besar tidak menawarkan banyak perlindungan ikan dari ancaman penangkapan (Dulvy dan Reynolds 2002; Dulvy et al. 2003; Reynolds et al. 2005a). Studi genetik menyarankan bahwa persebaran telur dan larva pelagis dapat terbatasi (Swearer et al. 1999; Cowen et al. 2000). Selain itu, aktivitas penangkapan skala besar telah menyebar ke sebagian besar bagian samudera dan hanya ada beberapa tempat pengungsian ikan saja yang tersisa (Pauly et al. 2002; Pauly et al. 2005). Karenanya, ikan dengan jumlah telur banyak dan jangkauan geografis besar tidak dapat dianggap resilien atau tidak rentan.
Penangkapan dipandang sebagai ancaman kelestarian ikan laut hanya beberapa tahun belakangan (Powles et al. 2000). Faktanya, apakah penyusutan populasi ikan oleh penangkapan dapat dipandang sebagai masalah konservasi murni masih menjadi perdebatan para ilmuan perikanan dan biologiwan pelestarian (Carlton et al. 1999; Mace dan Hudson 1999; Powles et al. 2000; Hutchings 2001). Sebagai contoh, penilaian stok perikanan konvensional berdasarkan model produksi surplus sederhana menyarankan tangkapan keseimbangan maksimum dari sebuah populasi dapat dicapai dengan mengurangi kelimpahan stok hingga level dekat dengan separuh ukuran stok yang tidak dieksploitasi – tingkat penurunan (dalam bingkai-waktu tertentu) yang dapat jatuh pada kategori rentan dalam kriteria Daftar Merah IUCN. Daftar Merah IUCN yang dikelola oleh Uni Konservasi Dunia (WCU), diterima luas sebagai otoritas untuk menentukan resiko kepunahan hewan dan tanaman (Rodrigues et al. 2006), walaupun validitasnya untuk ikan laut masih dipertanyakan (Punt 2000; Reynolds et al. 2005a). Untuk memecahkan masalah ini, IUCN memasukkan threshold penurunan yang lebih tinggi untuk spesies dimana ‘penyebab penurunan ukuran populasinya jelas dapat dibalikkan, dan dipahami serta telah hilang’ (IUCN 2001). Walau begitu, bahkan bila penyebab pengurangan populasi dapat balik dan dipahami serta kebijakan manajemen telah diterapkan, populasi yang menyusut masih dapat untuk tidak mampu pulih (Hutchings 2000; Hutchings dan Reynolds 2004).
Dan seterusnya ….

No comments:

Post a Comment