Thursday, February 3, 2011

Contoh Bab Empat Disertasi Pendidikan

A. Pendahuluan
Dalam bab ini, keempat guru honorer yang berpartisipasi dalam studi diperkenalkan dan data yang dikumpulkan dari wawancara dan entri jurnal disajikan. Data disajikan bukan dalam bentuk daftar atau tabulasi namun dalam bentuk narasi cerita negosiasi jalur efikasi profesional. Kisah-kisah yang diambil dari data dalam wawancara dan jurnal guru (lihat Bab Tiga: Halaman 51) ditulis dalam sudut pandang orang ketiga. Walau begitu, kisah-kisah ini sering mengandung kutipan panjang yang diambil langsung dari wawancara dan jurnal dalam usaha untuk menekankan pentingnya persepsi pengalaman sebagaimana yang diekspresikan oleh guru honorer. Guru honorer dirujuk sebagai narator kisah untuk menggariskan bahwa ini adalah kisah mereka yang sedang diceritakan. Format cerita untuk penyajian data dipilih sebagai usaha untuk mendekati semangat “pengalaman langsung” yang intens (Clandinin dan Connely, 2000:128) yang ada dalam semua narasi guru honorer. Kisah dari tiap guru honorer/narator diceritakan dalam dua bagian.
  • Bagian Satu mengenai hal-hal dan pengalaman yang mempengaruhi guru honorer dan reaksi mereka pada praktek mengajar.
  • Bagian Dua mengenai hubungan pengalaman tersebut dengan perkembangan pengetahuan dan naluri efikasi profesional.
Walau tidak diceritakan secara tepat berurutan, penyusunan kembali episode-episode dan peristiwa-peristiwa dari semua data dari tiap guru honorer, kisahnya dapat disusun dalam bentuk kronologis. Di akhir Bagian Satu adalah sebuah gambar yang mengilustrasikan proses konstruksi keyakinan dan teori privat dari kolisi yang dialami narator. Pada akhir Bagian Dua adalah gambar yang mengilustrasikan hubungan pengalaman guru honorer pada perkembangan naluri efikasi profesional mereka.
Pada Bagian Satu, kisah-kisah yang berhubungan dengan narator yang tiba pada keputusan untuk menjadi guru (masing-masing kisah diberi subjudul dengan pernyataan “misi” yang dikutip langsung (Korthagen, 2004; ditelusuri November 2004) dan kemudian seperti apa rasanya di ruang kelas. Dalam peristiwa-peristiwa yang telah mereka pilih untuk ceritakan dan jelaskan, pengalaman-pengalaman yang berkesan dan menggerakkan guru honorer diperjelas dan di analisa. Analisis dan penafsiran (diambil dengan metode analitik tiga kluster) dari peran signifikan pengalaman menemani deskripsi peristiwa – sehingga data dan analisis data serentak disajikan dalam cerita. Pengungkapan tiap kisah mengikuti pola yang kurang lebih sama dalam menekankan pengembangan pengetahuan yang disajikan sebagai keyakinan individual dan teori privat guru honorer.
Pola ini pada awalnya muncul saat penyandian dan penyandian ulang jam-jam wawancara dan entri jurnal. Dalam satu dari banyak bacaan data, gambaran jelas “kolisi” (tabrakan tidak sengaja dari perilaku dan peristiwa) mendadak menangkap apa yang tampaknya terjadi dalam kehidupan semua guru honorer. Analisa ulang data kembali dengan bantuan penemuan gambaran baru ini mengungkapkan barisan sejajar perkembangan keyakinan dan teori privat. Pada awalnya, kolisi dikategorikan secara umum sebagai “latar belakang pribadi” “profesional” dan “universitas”. Walau demikian, setelah pemeriksaan lebih jauh, masing-masing guru honorer tampaknya telah mengalami kolisi yang unik dalam kategori tersebut yang mempengaruhi perkembangan keyakinan individual dan teori privat mereka. Dalam kisah-kisah tersebut, penafsiran keyakinan (pernyataan pengetahuan abstrak universal) dan teori privat (pernyatan ringkas “Saya harus” atau “Saya mesti” yang tampak bertindak sebagai pemandu perilaku) kemudian diturunkan dari sebuah analisa peristiwa disekitar kolisi dan bahasa yang dipergunakan untuk menjelaskan kolisi tersebut. Masing-masing kisah diceritakan menggunakan bentuk pencitraan kolisi individual dan pernyataan keyakinan dan teori privatnya sebagai lambang sentral dan esensial dalam proses belajar menjadi guru yang efektif.
Seperti banyak peristiwa yang mungkin terjadi dalam kehidupan narator dan banyaknya hasil dari analisis yang mungkin disajikan dalam teori-teorinya. Walau begitu, ruang yang ada membatasi penulis untuk menyajikan setiap pengalaman atau hasil analisis. (Semua wawancara tersedia bila diminta.) Episode-episode yang tidak dipilih – seperti ketidak setujuan terisolasi dimana salah satu narator hadapi dengan seorang rekannya mengenai mood sang kolega yang mengganggu – tidak dimasukkan karena peristiwa ini tampaknya tidak memiliki indikasi yang penting dan merupakan hal yang terus terjadi dalam narasi. Insiden-insiden yang tidak berulang atau disebutkan hanya sedikit ditafsirkan sebagai yang kurang relevan dengan perkembangan naluri efikasi profesional. Begitu juga, citra terisolasi atau anomali struktural bahasa yang tidak sepertinya menjadi bagian dari pola umum seperti penggunaan istilah “bekerja terus sampai koma” oleh salah satu narator (Ros, 2009: Wawancara 1) dicatat dalam teks cerita. Di sisi lain dimana penafsiran didukung oleh lebih dari satu perangkat data – seperti tiga pernyataan yang menunjukkan satu tema – biasanya hanya satu insiden disebutkan dalam kisahnya untuk menghindari kesan persuasi yang berlebihan. Insiden atau pernyataan yang disajikan adalah yang telah terpilih atas keragaman ekspresinya dan atas penyajian khas kepribadian guru honorer – sebagai contoh dalam salah satu kisah narator tampaknya menekankan pentingnya sebuah insiden lewat sebuah “cerita pendek” yang sangat panjang yang juga menunjukkan afeksi dan kepeduliannya pada murid-muridnya. Gaya ekspresi individual dari tiap guru honorer menambah dalam dan menariknya cerita begitu pula menjadi elemen penting analisis.
Keempat guru honorer dalam bab ini dengan baik hati memberikan waktunya ditengah jadwal yang sangat menuntut untuk menceritakan pengalaman mereka dan kisah berkelanjutan mengenai bagaimana ia berubah dari pelajar menjadi pengajar. Alasan mereka untuk melakukan hal tersebut beragam. Masing-masing narator tertarik dalam menganalisa dan menawarkan saran untuk mengembangkan program penyetaraan guru untuk membantu mengembangkan dan memperbaiki komponen-komponennya bagi siswa selanjutnya. Lebih jauh, semua narator merencanakan pada suatu waktu akan melanjutkan studi mereka melebihi program penyetaraan dan tertarik dalam proses penelitian studi ini. Masing-masing ingin menyumbangkan kisahnya pada studi ini dan menekankan kesetujuan mereka dengan pentingnya tujuan penelitian. Mereka juga mengatakan bahwa dengan ikut serta pada penelitian ini, mereka meningkatkan pemahaman mereka sendiri mengenai pengalaman dari pelajar menjadi pengajar pula. Cukup membantu membicarakan mengenai apa yang terjadi pada diri mereka. Beberapa narator mengatakan bahwa mereka menikmati kesempatan mengungkapkan dan membahas peristiwa mengajar dengan orang luar yang tertarik dan tidak memihak. Salah satu narator mengatakan, “Anda membantu saya merefleksikan diri …” (Delima, 2009: Wawancara 2) dan yang lain mengatakan bahwa wawancara ini adalah “penyelamat hidup” (Lili, 2010: pertemuan informal seminar Oktober) dalam melalui masa-masa ragu. Semua narator tergerak oleh niat dan keseriusan dari analisis yang panjang dan detil dari kata-kata yang mereka ucapkan secara spontan dan memperhatikan dengan seksama penjelasan penafsiran persepsi mereka. Kisah-kisah mereka diceritakan dan ditulis dalam potongan-potongan lalu menjadi satu keseluruhan bagi mereka dan bagi penulis lewat proses analisis narasi.
Akhirnya, masing-masing guru honorer dalam kisah-kisah ini menggunakan pseudonim – nama sebuah bunga. Nama-nama bunga dipilih sebagai citra dari tiap narator karena kualitas kesegarannya – bersinar dan penting sekaligus baru dan tidak berpengalaman. Guru honorer, seperti bunga, mereka dinamakan atas kerapuhannya namun mengandung ketegaran yang membawanya melalui masa belajar untuk menjadi guru. Di Indonesia sendiri bunga adalah citra dominan – ada beribu ragam bunga (sebagian tidak dapat ditemukan di tempat lain di dunia ini) tumbuh di negara tropis ini. Seperti halnya ada banyak sekali bunga di taman, begitu juga ada banyak persepsi belajar menjadi pengajar disajikan dalam sejumlah besar cara.
B. Kisah Ros:
‘Saya ingin menjadi guru hebat yang bermakna bagi hidup anak.’
Ros ikut serta dalam program universitas di tahun pertama keberadaannya dari Januari hingga Desember 2009. Ia diwawancarai tujuh kali sepanjang tahun selalu di universitas setelah ia selesai mengajar di pagi hari dan kuliah atau menyelesaikan tugas kuliah di sore hari. Di malam hari ia akan bekerja di rumah untuk menyiapkan “tugas belajar” rencana pengajaran (DeKock dan Slabbert, 2004: 12) untuk besok harinya. Wawancara kedelapan dilakukan di sekolah dimana ia akan mengajar penuh setelah lulus. Karena tekanan jadwalnya yang sibuk, sesi wawancara masing-masing panjangnya sekitar 45 menit. Jurnal reflektifnya dibaca pada akhir masanya di kampus. Penulis mengunjunginya suatu pagi di sekolah pertama dimana ia ditugaskan mengajar. Ia dijelaskan dalam teks sebagai wanita muda tinggi dan menarik di awal usia dua puluhan. Bahasa ibunya bahasa Skeah namun kami melakukan wawancara dalam bahasa Indonesia. Ia mengatakan bahwa ia tidak malu dan tidak peduli mengenai isu kerahasiaan dalam wawancara. ‘Apa yang saya katakan kepada anda juga akan saya katakan pada orang lain …” (Ros, 2009: Wawancara 1).
Beliau menandatangani pernyataan kerahasiaan. (Lihat Lampiran I) Pada waktu wawancara ia telah tinggal dengan orang tuanya dan beberapa saudara di pinggiran kota dalam kompleks berpagar, tidak menikah dan tidak punya anak. Gaya berbicara Ros dalam wawancara hidup dan lancar dan member kesan seseorang dengan semangat dramatis. Analisis isi dan bahasa narasi beliau menggunakan metode kluster performatif, struktural dan sastra menunjukkan insidensi tinggi penggunaan bahasa figuratif dan presentasi tema, sedikit penggunaan wacana, makna situatif kata dan monolog interior dan hanya satu kesempatan episode kritis. Ros menjelaskan dirinya sebagai seorang ‘perfeksionis’ dan ‘pecinta organisasi’, ‘orang yang terstruktur’ namun dapat ‘terlalu emosional’ (Ros, 2009: Wawancara 5). Ia juga menjelaskan dirinya sebagai orang yang mandiri. “Saya sangat senang menjadi mandiri. Masalahnya … karena saya terlalu mandiri … (Ros, 2009: Wawancara 2). Sering saat kami bertemu ia tampak kelelahan dan teralihkan: “Ros tampaknya letih dan tidak bersemangat hari ini. Ada lingkaran hitam dibawah matanya” (Catatan lapangan, 8 Mei 2009). Walau begitu, dalam tiap pertemuan, kesan dominan dirinya adalah bahwa ia berniat menjadi guru dan sangat ingin memenuhi misinya sebagai “guru hebat (yang) sangat berarti bagi anak...” (Ros, 2009: Wawancara 2). Naluri determinasinya tidak pernah meninggalkan dirinya dan sesulit apapun masa itu bagianya, ia tidak pernah menyebutkan kalau ia berpikir akan berhenti kuliah.
Ros menghabiskan tahun praktikumnya di universitas dengan mengalami dan menunjukkan perasaan (dalam bahasa figuratif yang jelas) dari kebingungan hingga menjadi “malaikat” (Ros, 2009: Wawancara 1) dan “penonton” (Ros, 2009: Wawancara 2) “mimpi buruk” (Ros, 2009: Wawancara 2) dan “mukjizat” (Ros, 2009: Wawancara 1). Baginya itu adalah tahun yang ia sebut sebagai “kolisi”.
Saya benar-benar bertabrakan di tengah karena saya orang yang sangat sopan dan santun namun bekerja dengan anak-anak yang tidak punya sopan santun … Tabrakan yang nyata terjadi saat saya mencoba menyuruh mereka melakukan sesuatu namun mereka malah mengejek saya … (Ros, 2009: Wawancara 4).
Kisah Ros penuh dengan peristiwa kolisi dan keyakinan serta teori privat dari dalam kelas dan dari luar kelas. Sebagian keyakinan dan teori privatnya dibawakan dari pengalaman masa lalunya dan sebagian dikembangkan atau terungkap saat ia melalui pengalaman mengajar pertamanya.
Dari sejak awal kisah Ros menjadi seorang guru, citra “kolisi” dari satu hal atau lainnya adalah gaya yang berpengaruh dalam hidupnya. Sebagai contoh, keputusan Ros untuk menjadi guru berdasarkan pada kecintaannya dalam mengajar. “Saya senang menjelaskan sesuatu dan saya juga tipe tutor yang baik …” (Ros, 2009: Wawancara 1). Ia sering mengekspresikan keinginannya untuk membuat perbedaan dalam “skala besar” (Ros, 2009: Wawancara 1) lewat pengajarannya – sebuah tema yang sering terjadi berulang kali dalam narasinya. Walau begitu, komitmen Ros untuk menjadi guru tidak dipandang ringan. Ayahnya tidak setuju atas pilihannya untuk menjadikan guru sebagai sebuah profesi.
Ayah saya tidak ingin saya mengajar. Ia seorang akuntan dan mengatakan bahwa mengajar tidak menghasilkan uang. Namun saya menyukai apa yang saya lakukan … (Ros, 2009: Wawancara 1).
Ia menceritakan masa kecilnya sebagai masa yang “sangat indah” (Ros, 2009: Wawancara 2) jadi untuk menyenangkan hati ayahnya ia mengambil kuliah S1 di bidang psikologi, menghabiskan beberapa tahun di luar daerah dan mencoba mengambil pekerjaan yang mewah dan menghasilkan (Ros, 2009: Wawancara 1). Dalam apa yang dapat disebut sebagai “episode kritis” (Elbaz, 1991:17), ia mengatakan :
Dan seterusnya …..



No comments:

Post a Comment