Thursday, February 3, 2011

Contoh bab 3 disertasi Ilmu Komunikasi

A. Pendahuluan
Bab ini dan bab selanjutnya akan memberikan pendekatan pada komunikasi yang akan digunakan penulis untuk mengkritik kampanye komunikasi publik. Model komunikasi ini berdasarkan pada apa yang dikenal sebagai prinsip dialogis. Ia memiliki dua tampilan prinsipil yang berbeda dari pendekatan komunikasi lainnya: pertama ia memperlakukan bahasa sebagai sebuah peristiwa, bukannya sistem; kedua, ia memperlakukan makna sebagai sifat yang muncul, dimana makna dibangkitkan oleh interaksi dua atau lebih partisipan dalam sebuah peristiwa komunikasi dan hanya muncul sebagai hasil tindakan bersama.
Banyak pengarang telah tertarik pada pandangan komunikasi ini dan telah ada banyak pembahasan mengenai pergeseran paradigma saat teoritikus komunikasi mulai menggunakan terminologi prinsip dialogis. Walau begitu, sebagaimana yang akan ditunjukkan oleh penulis, sebagian besar penulis ini telah lama memeluk sifat radikal prinsip dialogis dan belum melihat bahwa bukan hanya sekedar terminologi yang harus dirubah. Dalam kebanyakan kasus tidak ada pergeseran paradigma sama sekali, namun hanya perubahan dalam teori dan model yang telah ada.
Dalam bab ini, penulis memperkenalkan prinsip dialogis, dan memeriksa aspek yang relevan dari paradigma kemanusiaan dan ilmu sosial. Konsentrasi pada bab ini dan selanjutnya ada pada aspek konseptual berbagai pendekatan komunikasi, sementara pertimbangan etik dan praktis akan dibahas di sepanjang disertasi.
Penulis mendekati bab ini menggunakan prinsip dialogis dengan kehati-hatian. Seperti banyak orang yang telah menulis mengenai komunikasi, penulis menyadari ketidakcukupan komunikasi tradisional dalam membahas subjek ini. Namun sebagaimana akan penulis arungi menuju model baru kampanye komunikasi publik, model komunikasi sebagai percakapan yang akan membawa kita dari model transmisi, penulis sadar akan adanya sebuah ironi: sangat sulit melakukan percakapan diperluas mengenai topik ini. Kita tidak memiliki kosakata dan metafora penunjangnya untuk melakukan percakapan mengenai percakapan. Model yang ada sangat kabur dan cair sehingga menyelusup ke semua komunikasi mengenai komunikasi. Apa yang kita perlukan sekarang adalah metafora-metafora baru yang memungkinkan kita membahas dan menulis dengan yakin mengenai komunikasi tanpa berimplikasi pada pergerakan makna dari satu individu ke individu lain.
Dalam model komunikasi sebagai percakapan yang ingin penulis kembangkan untuk kampanye komunikasi publik, makna tidak berlompatan dari orang ke orang, namun diciptakan dalam tindakan perckapan. Komunikasi adalah sebuah peristiwa yang memunculkan perubahan; namun komunikasi sendiri tidak melibatkan pergerakan, dari satu tempat ke tempat lainnya, baik dari pesan maupun makna. Instrumen komunikasi bergerak – gelombang udara bergetar, kertas dipertukarkan, sinyal elektronis berdenyut di kabel dan berpendar di layar – namun interaksi bermakna antar manusia tidaklah sama seperti instrumen yang digunakan untuk berinteraksi. Inilah kesalahan dasar Weaver saat beliau menerapkan model komunikasi matematis Shannon untuk mencakup semua komunikasi manusia; ia salah mengambil instrumental untuk esensial. Namun Weaver tergoda dengan metafora umum sebagaimana orang-orang sebelumnya. Dalam bab sebelumnya penulis telah menjelaskan ketidakmampuan para ilmuan komunikasi untuk membuang kebiasaan ini dalam pikirannya; dalam bab ini, penulis akan kembali menunjukkan bagaimana kuatnya metafora dan keyakinan yang dipegang luas mengenai komunikasi, membawa pada mereka yang ingin mengubah paradigma menuju dialogis kembali terjatuh pada kebiasaan berpikir dan berperilaku model pengirim – pesan – penerima.
Walau begitu, bukan metafora komunikasi semata yang perlu diubah. Penulis berpendapat bahwa paradigma komunikasi yang menginformasikan kelembagaan kita, hubungan formal dan publik memiliki tampilan yang sama dengan paradigma cabang pengetahuan manusia lainnya. Penulis yakin bahwa satu-satunya jalan untuk meningkatkan hubungan ini adalah perubahan radikal dalam paradigma komunikasi, yang tergantung untuk berhasil pada perubahan radikal paradigma lainnya.
Paradigma dominan ilmu sosial memiliki banyak kesamaan dengan sains akhir abad ke-19. Karena sains adalah sebuah lembaga dalam batasan pemikiran barat klasik, tidaklah mengherankan kalau asumsi sains dan cabang-cabangnya ditandai dengan karakteristik epistemologis yang umum ditemukan pada bentuk wacana lainnya, yang sepanjang abad telah menjadi bagian pemikiran dasar kita yang kita berikan label asumsi ‘masuk akal.’ Tampilan paradigma ilmu sosial tradisional mencakup empat elemen epistemologis yang signifikan untuk penelitian disertasi ini: linearitas, struktur, reifikasi dan reduksionisme (lihat halaman 121 dibawah). Bahkan kalau ada panggilan untuk menggeser paradigma, usaha untuk melakukannya biasanya berada didalam berbagai ranah postmodernisme, yang secara umum tidak berhasil, karena dua alasan penting: pertama, setiap perubahan yang dibuat hanya terjadi dalam batasan disiplin tertentu, dan bukan pada skema konseptual keseluruhan; dan kedua, perubahan yang dibuat hanya pada satu atau dua komponen kecil paradigma, bukan pada paradigma itu sendiri secara keseluruhan. Penulis akan menunjukkan di bawah bahwa kesarjanaan postmodernisme tidaklah konsisten dan tidak pula menyeluruh dalam hal berikut: kita melihat kejanggalan kecil pada paradigma lama, namun paradigma lama ini tetap mampu tumbuh di atas luka-luka tersebut.
B. Cara Baru Membicarakan Komunikasi
Penulis mengambil titik awal pada posisi tiga filsuf: intelektual Rusia, Bakhtin (1895-1975) dan/atau Voloshinov (1884-1936), khususnya dalam Marxisme dan Filsafat Bahasa 1929; teologian dan filsuf Austria, Martin Buber (1878-1965) dalam Dialog 1929; dan Ludwig Wittgenstein (1878-1965) dalam karyanya Penyelidikan Filosofis 1953.
Bakhtin dan Buber, yang menghasilkan karya mereka di tahun 1920an dan 30an, menunjukkan sifat dasar komunikasi yang menurut penulis paling memuaskan dan bermanfaat. Pandangan mereka mengenai sifat komunikasi, yang kadang disebut prinsip dialogis (khususnya dalam membahas karya Bakhtin), membawa komunikasi lepas dari pendekatan instrumental mekanistik yang telah mendominasi pemikiran Barat dalam bidang ini sejak lama, dan masih hingga sekarang. Walau begitu, penulis tidak akan menggunakan terminologi mereka, karena penulis memilih istilah ‘percakapan’ sementara mereka menggunakan istilah ‘dialog’, dan menggunakan dialog sebagai bentuk sekunder dan turunan dari percakapan (seperti menurut penulis, berlaku pada semua bentuk lain komunikasi, termasuk komunikasi massa dan komunikasi publik). Alasan penulis mengadopsi istilah ‘percakapan’ sebagai pengganti ‘dialog’ akan dijelaskan dalam bab berikutnya.
Wittgenstein tidak menggunakan istilah ‘dialog’ atau ‘percakapan’, namun memilih ‘bahasa’ dan ‘permainan-bahasa’. Namun dalam Investigations, bahasa dan makna adalah bahasa dan makna yang digunakan: tidak masuk akal merujuk pada bahasa kecuali dalam hal berkomunikasi dengan orang lain. Pemaksaannya bahwa bahasa pada dasarnya publik – bahwa setiap aspek psikologis tidak relevan pada bagaimana individu menggunakan bahasa dan merumuskan makna – memberikan intisari prinsip dialogis.
1. Bakhtin
Kesarjanaan Bakhtinian telah menghabiskan cukup waktu dalam membahas apakah tulisan yang dinisbahkan pada dua pendahulu Bakhtin, Medvedev dan Voloshnikov, sesungguhnya ditulis oleh Bakhtin, dan hal ini menghasilkan kebingungan dalam nomenklatur dan juga kepengarangan. Ketidakpastian mengenai kepengarangan ini dicerminkan dalam beragam nama: sebagian kritikus merujuk pada pengarang Marxisme dan Filsafat Bahasa adalah Bakhtin (misalnya Todorov), yang lain Voloshnikov (misalnya Hodge dan Kress), dan yang lain Voloshnikov/Bakhtin (misalnya Morris). Untuk keberanian dan kemudahan pembacaan, penulis merujuk pada Bakhtin.
Pendekatan pertama pada komunikasi yang penulis pandang berguna untuk wacana publik mengikuti teori penyebutan Bakhtin. Bakhtin mengembangkan pendekatan bahasa dan komunikasinya, terutama pada tahun 1930an, sebagai kritik pada teori linguistik strukturalis Saussure dan Jakobson. Ia mengantisipasi tema ‘konstruksi sosial realitas’ lewat bahasa, yang telah menjadi, paling tidak secara nominal, karakteristik dari banyak pendekatan terbaru dalam sosiologi. Dalam pandangan Bakhtin, wacana tidak mencerminkan dunia, namun membentuknya lewat pengucapan; pandangan umum bahwa seseorang menyandikan dan mengirimkan isi pikirannya lewat pesan, yang kemudian disandikan dan ditafsirkan oleh orang lain, tidak perlu sejalan dengan realitas diskursif. Sebaliknya, pengucapan tidak akan ada hingga mereka dikonstruksi antara orang-orang yang terorganisir secara sosial dimana hubungannya berada dalam kondisi bentuk dan transformasi yang permanen.
Frase ‘konstruksi sosial realitas’ sering ditafsirkan oleh sosiolog modern berdasarkan perspektif Kartesius, dimana masing-masing dari kita (sebagai subjek) mengkonstruksi dunia sosial kita (objek) menggunakan bahasa dan lambang lainnya sebagai alat operasional. Pendekatan dalam teori komunikasi yang dikenal sebagai interaksionisme simbolik adalah salah satu penafsiran subjek-objek instrumentalis demikian. Disertasi ini tidak menganut pandangan interaksionis simbolik.
Bakhtin menekankan dualitas takterkurangi dari pengucapan bermakna, sementara makna tidak berada dalam orang atau teks apapun tapi merupakan produk dari interaksi interlokutor dalam konteks sosial unik (Todorov, 1984; Morris, 1994; Dentith, 1995). Makna pada dasarnya berada di luar orang dan teks:
Bahkan pengucapan paling primitif yang dihasilkan oleh organisme individual, dari sudut pandang isinya, kepentingan dan maknanya, tersusun diluar organisme tersebut, dalam kondisi ekstraorganisme dalam relung sosial. Pengucapan karenanya merupakan produk dari interaksi sosial (Bakhtin, dikutip dalam Dentith, 1995:138).
Dalam teori pengucapan ini, bahasa tidak dijelaskan sebagai sebuah sistem namun sebagai sederetan peristiwa, dimana makna dan nilai dibuat sebagai hasil dari interaksi dan konteks sosial tertentu.
2. Buber
Filsafat Buber menjelaskan kontras antara resiprositas serempak dan mutualitas hubungan manusia (dialog) dan hubungan utilitarian yang dimodelkan dalam sisi ilmiah subjek dan objek (monolog). Sebagai teolog, Buber percaya bahwa agama lah menciptakan hubungan mutual antara manusia, namun filsafatnya penuh berisikan kemanusiaan yang mendalam selain visi spiritual. Buber menolak memisahkan religius dari sekuler, dan melihat misteri mendalam pada kreativitas sebagai karakteristik manusia dan juga ilahiah. Adalah kemanusiaannya pada pengamatannya mengenai hubungan pribadi dan kreativitas yang sangat berguna bagi tujuan kita sekarang.
Tujuan Buber dalam Dialogue (1929) adalah menggambarkan dan memperjelas prinsip dialogisnya, yang telah pada awalnya dibangun dalam karya yang lebih mistik berjudul I and Thou. Intuisi Buber pada dialog adalah bahwa hubunganlah yang menyusun ‘mutualitas aksi internal’(hal. 25). Gerakan dasar kehidupan dialog bergerak menuju lainnya. Keluar dari mutualitas ini adalah penciptaan kelompok komunikasi. Buber memahami bahwa ia berusaha menjelaskan sesuatu yang hampir tak terekspresikan dalam bahasa biasa. Ia melihat dialog sebagai sesuatu yang lebih mendasar daripada signifikansi lainnya:
Dialog manusia, karenanya, walaupun memiliki kehidupan berbeda dalam tanda, yaitu suara dan gerakan … dapat ada tanpa tanda, namun tidak diakui dalam bentuk yang dapat dipahami secara objektif. Di sisi lain, sebuah unsur komunikasi, betapapun internalnya, tampak merupakan milik esensinya … Kehidupan dialog tidak terbatas pada lalu lintas manusia satu sama lain; ia telah menunjukkan dirinya berhubungan dengan manusia satu sama lain yang hanya dapat disajikan dalam lalu lintasnya (Buber, 1961: 20-25).
Dialog diawali dengan ‘dimana kemanusiaan bermula’ (hal. 54):
Dialog bukanlah masalah kemewahan spiritual, ia adalah masalah penciptaan mahluk … Agar jelas maksudnya contohnya adalah seorang pekerja yang dapat mengalami hubungannya dengan mesin, bahkan hubungan ini dapat dipandang sebagai sebuah dialog, saat, misalnya, seorang kompositor memberi tahu kalau ia memahami suara gumam mesin sebagai “tersenyum pada saat karena membantunya mengatasi masalah dan kendala yang mengganggu dan menyakitinya, sehingga sekarang ia dapat bekerja dengan baik” (Buber, 1961:55-57).
Dialog adalah masalah penciptaan. Ia adalah masalah tindakan bersama. Ia bukan sesuatu yang terjadi pada satu partisipan saja, sebagaimana dijelaskan oleh teori transmisi monologis, namun sesuatu yang orang (semua orang, semua yang terlibat dalam dialog) lakukan – bahkan saat, seperti dijelaskan dalam kutipan sebelumnya, salah satu partisipan dapat berupa mesin – dan kita melakukan ini karena kita secara aktif (mungkin, seperti dalam kasus pekerja Buber, kadang sedang bermain-main) memberikan minat dan kepengarangan pada partisipan lainnya (Sless dan Shrensky, 1995). Mutualitas dan resiprositas dianggap sebagai kondisi a priori yang perlu untuk komunikasi.
Pemahaman Bakhtin pada komunikasi sebagai peristiwa dan pandangan Buber bahwa ia adalah prinsip dasar yang intisarinya adalah penciptaan hubungan manusia memberikan intuisi baru komunikasi yang jauh terlepas dari pandangan komunikasi instrumental sebagai alat yang kita gunakan untuk menyatakan gagasan kita. Sebaliknya, ia menjadi alat dimana gagasan dibuat.
3. Wittgenstein
Wittgenstein dalam Investigations menggeser penekanan dalam filsafat linguistik lepas dari pandangan bahasa sebagai sistem tanda formal, statis dan diperumum kepada pandangan bahasa dalam penggunaan pada konteks aktivitas sosial sehari-hari. Bahasa selalu menjadi fenomena publik; tidak ada yang namanya bahasa pribadi (hal. 241):
Ia adalah apa yang dikatakan manusia sebagai benar dan salah; dan mereka setuju dalam bahasa yang mereka gunakan. Ini bukan kesepakatan pendapat namun dalam bentuk kehidupan (hal. 241).
Yang dimaksud ‘bentuk kehidupan’ oleh Wittgenstein menurut penulis adalah sesuatu seperti aktivitas sosial bertujuan konvensional atau terikat aturan. Wittgenstein berpendapat bahwa makna kata-kata suatu bahasa tidak berada dalam objek yang dinamakan oleh kata tersebut, namun dalam bagaimana kata-kata tersebut digunakan dalam masyarakat linguistik: ‘Bahasa adalah sesuatu yang diucapkan’, seperti diekspresikan oleh Rush Rhees (1954:94) dalam artikelnya mengenai argumen bahasa privat.
Dalam bagian selanjutnya dari bab ini, penulis akan memberikan argumen-argumen yang lebih detil mengenai pemahaman penulis pada pendekatan Wittgenstein, dan bagaimana ia dapat sesuai dengan model komunikasi yang penulis kembangkan untuk komunikasi publik.
C. Unsur-Unsur Komunikasi Dialogis
Dalam disertasi ini, penulis mengadopsi sebuah ontologi komunikasi yang berbeda secara radikal dari teori dan praktek yang umum diikuti. Teori tradisional mereduksi komunikasi pada tiga unsur berbeda dan diskrit – pengirim, pesan dan penerima – dan menyatakan komunikasi sebagai pengiriman pesan (sebuah kognisi pra ada yang tersandikan dalam sistem tanda) dari pengirim (komunikator aktif dan asal pesan, sebagai pengarang atau teks) kepada penerima (tujuan pasif yang akan dipengaruhi pesan). Dalam pendekatan dialogis pada komunikasi yang penulis sarankan, komunikasi memiliki karakteristik sebagai berikut (akan dijelaskan secara detail di depan):
  • Bahasa dinyatakan sebagai sederetan peristiwa atau tindakan;
  • Hubungan antara gagasan dan dunia adalah resiprositas bersama;
  • Makna muncul sebagai produk interaksi dialektikal antara individu, atau antara individu dan teks;
  • Kognisi adalah produk komunikasi
dan seterusnya ….

No comments:

Post a Comment