- Analisis sosial budaya komodifikasi media etnis dan konsumen asing di Jakarta
- Audiens deliberatif, agonistik dan algoritmis: visi jurnalisme pada publiknya dalam zaman transparansi audiens
- Konvergensi lewat file sharing peer to peer bergerak di Indonesia
- Gender, tenaga kerja dan masyarakat dalam zaman konvergensi televisi-internet
- Sintesis Mediasi musik sebagai kemunculan dan transformasi lembaga
- Komunikasi digital dan perubahan politik di Indonesia
- Argumen dan apresiasi pencampuran rap dengan tema religius sebagai komunikasi nasional dan terpinggirkan
- Protokol ASEAN dalam kerjasama budaya: Menuju keanekaragaman budaya atau defisit budaya?
- Konstruksi strategis penderitaan termediasi dalam bahasa Inggris yang dituturkan supir taksi
- Strategi digital berita dan isu terbaru dalam Jasa penyiaran khusus Indonesia
- Agen berita dan berita abad ke-21
- Hubungan kebebasan pers global dengan pembangunan dan budaya: implikasi dari analisa komparatif
- Dapatkah LSM merubah berita?
- Branding nasional: Menuju agenda penelitian kritis
- Komunikasi dan kreativitas: Bagaimana penggunaan media mempengaruhi mereka yang menciptakan teks media?
- Strategi pemasaran games sebagai kooptasi audiens
- Paparan anak pada dan persepsi terhadap iklan online
- Emosi dan kepemilikian dalam kapitalisme akhir: narasi spekulatif mengenai reality show
- Media baru dalam konteks internasional
- Bebas, sosial dan inklusif: kepantasan dan hambatan teknologi media baru di Indonesia
- Pola, proses dan politik remaja dalam media baru
- Praktek media baru di Indonesia
- Jembatan masa lalu dan masa depan, pasar dan pembangunan, lewat media baru
- Teknologi kecil: kebudayaan perangkat digital
- Berita saat bekerja: imitasi dalam zaman kekayaan informasi
- Anti rasisme dan multikulturalisme
- Kebangkitan dan keruntuhan kekaisaran informasi
- Studi media aneh dalam zaman E-invisibility
- Makeover TV: egoisme, kewarganegaraan dan selebriti
- Internet dalam dunia pesantren
- Lewat mata mereka: korespondensi asing di Indonesia
- Planet Google: Rencana ambisius sebuah perusahaan untuk mengorganisir segala yang kita ketahui
- Pakaian untuk kebebasan: analisa komunikasi saat reformasi meruntuhkan orde baru
Jasa Penulisan: jurnal, proposal, dan disertasi doktoral. Email: penulismemori@gmail.com WhatsApp = 085759501735
Showing posts with label Ilmu Komunikasi. Show all posts
Showing posts with label Ilmu Komunikasi. Show all posts
16 March 2011
Contoh topik disertasi Ilmu Komunikasi
03 February 2011
Contoh bab 3 disertasi Ilmu Komunikasi
A. Pendahuluan
Bab ini dan bab selanjutnya akan memberikan pendekatan pada komunikasi yang akan digunakan penulis untuk mengkritik kampanye komunikasi publik. Model komunikasi ini berdasarkan pada apa yang dikenal sebagai prinsip dialogis. Ia memiliki dua tampilan prinsipil yang berbeda dari pendekatan komunikasi lainnya: pertama ia memperlakukan bahasa sebagai sebuah peristiwa, bukannya sistem; kedua, ia memperlakukan makna sebagai sifat yang muncul, dimana makna dibangkitkan oleh interaksi dua atau lebih partisipan dalam sebuah peristiwa komunikasi dan hanya muncul sebagai hasil tindakan bersama.
Banyak pengarang telah tertarik pada pandangan komunikasi ini dan telah ada banyak pembahasan mengenai pergeseran paradigma saat teoritikus komunikasi mulai menggunakan terminologi prinsip dialogis. Walau begitu, sebagaimana yang akan ditunjukkan oleh penulis, sebagian besar penulis ini telah lama memeluk sifat radikal prinsip dialogis dan belum melihat bahwa bukan hanya sekedar terminologi yang harus dirubah. Dalam kebanyakan kasus tidak ada pergeseran paradigma sama sekali, namun hanya perubahan dalam teori dan model yang telah ada.
Dalam bab ini, penulis memperkenalkan prinsip dialogis, dan memeriksa aspek yang relevan dari paradigma kemanusiaan dan ilmu sosial. Konsentrasi pada bab ini dan selanjutnya ada pada aspek konseptual berbagai pendekatan komunikasi, sementara pertimbangan etik dan praktis akan dibahas di sepanjang disertasi.
Penulis mendekati bab ini menggunakan prinsip dialogis dengan kehati-hatian. Seperti banyak orang yang telah menulis mengenai komunikasi, penulis menyadari ketidakcukupan komunikasi tradisional dalam membahas subjek ini. Namun sebagaimana akan penulis arungi menuju model baru kampanye komunikasi publik, model komunikasi sebagai percakapan yang akan membawa kita dari model transmisi, penulis sadar akan adanya sebuah ironi: sangat sulit melakukan percakapan diperluas mengenai topik ini. Kita tidak memiliki kosakata dan metafora penunjangnya untuk melakukan percakapan mengenai percakapan. Model yang ada sangat kabur dan cair sehingga menyelusup ke semua komunikasi mengenai komunikasi. Apa yang kita perlukan sekarang adalah metafora-metafora baru yang memungkinkan kita membahas dan menulis dengan yakin mengenai komunikasi tanpa berimplikasi pada pergerakan makna dari satu individu ke individu lain.
Dalam model komunikasi sebagai percakapan yang ingin penulis kembangkan untuk kampanye komunikasi publik, makna tidak berlompatan dari orang ke orang, namun diciptakan dalam tindakan perckapan. Komunikasi adalah sebuah peristiwa yang memunculkan perubahan; namun komunikasi sendiri tidak melibatkan pergerakan, dari satu tempat ke tempat lainnya, baik dari pesan maupun makna. Instrumen komunikasi bergerak – gelombang udara bergetar, kertas dipertukarkan, sinyal elektronis berdenyut di kabel dan berpendar di layar – namun interaksi bermakna antar manusia tidaklah sama seperti instrumen yang digunakan untuk berinteraksi. Inilah kesalahan dasar Weaver saat beliau menerapkan model komunikasi matematis Shannon untuk mencakup semua komunikasi manusia; ia salah mengambil instrumental untuk esensial. Namun Weaver tergoda dengan metafora umum sebagaimana orang-orang sebelumnya. Dalam bab sebelumnya penulis telah menjelaskan ketidakmampuan para ilmuan komunikasi untuk membuang kebiasaan ini dalam pikirannya; dalam bab ini, penulis akan kembali menunjukkan bagaimana kuatnya metafora dan keyakinan yang dipegang luas mengenai komunikasi, membawa pada mereka yang ingin mengubah paradigma menuju dialogis kembali terjatuh pada kebiasaan berpikir dan berperilaku model pengirim – pesan – penerima.
Walau begitu, bukan metafora komunikasi semata yang perlu diubah. Penulis berpendapat bahwa paradigma komunikasi yang menginformasikan kelembagaan kita, hubungan formal dan publik memiliki tampilan yang sama dengan paradigma cabang pengetahuan manusia lainnya. Penulis yakin bahwa satu-satunya jalan untuk meningkatkan hubungan ini adalah perubahan radikal dalam paradigma komunikasi, yang tergantung untuk berhasil pada perubahan radikal paradigma lainnya.
Paradigma dominan ilmu sosial memiliki banyak kesamaan dengan sains akhir abad ke-19. Karena sains adalah sebuah lembaga dalam batasan pemikiran barat klasik, tidaklah mengherankan kalau asumsi sains dan cabang-cabangnya ditandai dengan karakteristik epistemologis yang umum ditemukan pada bentuk wacana lainnya, yang sepanjang abad telah menjadi bagian pemikiran dasar kita yang kita berikan label asumsi ‘masuk akal.’ Tampilan paradigma ilmu sosial tradisional mencakup empat elemen epistemologis yang signifikan untuk penelitian disertasi ini: linearitas, struktur, reifikasi dan reduksionisme (lihat halaman 121 dibawah). Bahkan kalau ada panggilan untuk menggeser paradigma, usaha untuk melakukannya biasanya berada didalam berbagai ranah postmodernisme, yang secara umum tidak berhasil, karena dua alasan penting: pertama, setiap perubahan yang dibuat hanya terjadi dalam batasan disiplin tertentu, dan bukan pada skema konseptual keseluruhan; dan kedua, perubahan yang dibuat hanya pada satu atau dua komponen kecil paradigma, bukan pada paradigma itu sendiri secara keseluruhan. Penulis akan menunjukkan di bawah bahwa kesarjanaan postmodernisme tidaklah konsisten dan tidak pula menyeluruh dalam hal berikut: kita melihat kejanggalan kecil pada paradigma lama, namun paradigma lama ini tetap mampu tumbuh di atas luka-luka tersebut.
B. Cara Baru Membicarakan Komunikasi
Penulis mengambil titik awal pada posisi tiga filsuf: intelektual Rusia, Bakhtin (1895-1975) dan/atau Voloshinov (1884-1936), khususnya dalam Marxisme dan Filsafat Bahasa 1929; teologian dan filsuf Austria, Martin Buber (1878-1965) dalam Dialog 1929; dan Ludwig Wittgenstein (1878-1965) dalam karyanya Penyelidikan Filosofis 1953.
Bakhtin dan Buber, yang menghasilkan karya mereka di tahun 1920an dan 30an, menunjukkan sifat dasar komunikasi yang menurut penulis paling memuaskan dan bermanfaat. Pandangan mereka mengenai sifat komunikasi, yang kadang disebut prinsip dialogis (khususnya dalam membahas karya Bakhtin), membawa komunikasi lepas dari pendekatan instrumental mekanistik yang telah mendominasi pemikiran Barat dalam bidang ini sejak lama, dan masih hingga sekarang. Walau begitu, penulis tidak akan menggunakan terminologi mereka, karena penulis memilih istilah ‘percakapan’ sementara mereka menggunakan istilah ‘dialog’, dan menggunakan dialog sebagai bentuk sekunder dan turunan dari percakapan (seperti menurut penulis, berlaku pada semua bentuk lain komunikasi, termasuk komunikasi massa dan komunikasi publik). Alasan penulis mengadopsi istilah ‘percakapan’ sebagai pengganti ‘dialog’ akan dijelaskan dalam bab berikutnya.
Wittgenstein tidak menggunakan istilah ‘dialog’ atau ‘percakapan’, namun memilih ‘bahasa’ dan ‘permainan-bahasa’. Namun dalam Investigations, bahasa dan makna adalah bahasa dan makna yang digunakan: tidak masuk akal merujuk pada bahasa kecuali dalam hal berkomunikasi dengan orang lain. Pemaksaannya bahwa bahasa pada dasarnya publik – bahwa setiap aspek psikologis tidak relevan pada bagaimana individu menggunakan bahasa dan merumuskan makna – memberikan intisari prinsip dialogis.
1. Bakhtin
Kesarjanaan Bakhtinian telah menghabiskan cukup waktu dalam membahas apakah tulisan yang dinisbahkan pada dua pendahulu Bakhtin, Medvedev dan Voloshnikov, sesungguhnya ditulis oleh Bakhtin, dan hal ini menghasilkan kebingungan dalam nomenklatur dan juga kepengarangan. Ketidakpastian mengenai kepengarangan ini dicerminkan dalam beragam nama: sebagian kritikus merujuk pada pengarang Marxisme dan Filsafat Bahasa adalah Bakhtin (misalnya Todorov), yang lain Voloshnikov (misalnya Hodge dan Kress), dan yang lain Voloshnikov/Bakhtin (misalnya Morris). Untuk keberanian dan kemudahan pembacaan, penulis merujuk pada Bakhtin.
Pendekatan pertama pada komunikasi yang penulis pandang berguna untuk wacana publik mengikuti teori penyebutan Bakhtin. Bakhtin mengembangkan pendekatan bahasa dan komunikasinya, terutama pada tahun 1930an, sebagai kritik pada teori linguistik strukturalis Saussure dan Jakobson. Ia mengantisipasi tema ‘konstruksi sosial realitas’ lewat bahasa, yang telah menjadi, paling tidak secara nominal, karakteristik dari banyak pendekatan terbaru dalam sosiologi. Dalam pandangan Bakhtin, wacana tidak mencerminkan dunia, namun membentuknya lewat pengucapan; pandangan umum bahwa seseorang menyandikan dan mengirimkan isi pikirannya lewat pesan, yang kemudian disandikan dan ditafsirkan oleh orang lain, tidak perlu sejalan dengan realitas diskursif. Sebaliknya, pengucapan tidak akan ada hingga mereka dikonstruksi antara orang-orang yang terorganisir secara sosial dimana hubungannya berada dalam kondisi bentuk dan transformasi yang permanen.
Frase ‘konstruksi sosial realitas’ sering ditafsirkan oleh sosiolog modern berdasarkan perspektif Kartesius, dimana masing-masing dari kita (sebagai subjek) mengkonstruksi dunia sosial kita (objek) menggunakan bahasa dan lambang lainnya sebagai alat operasional. Pendekatan dalam teori komunikasi yang dikenal sebagai interaksionisme simbolik adalah salah satu penafsiran subjek-objek instrumentalis demikian. Disertasi ini tidak menganut pandangan interaksionis simbolik.
Bakhtin menekankan dualitas takterkurangi dari pengucapan bermakna, sementara makna tidak berada dalam orang atau teks apapun tapi merupakan produk dari interaksi interlokutor dalam konteks sosial unik (Todorov, 1984; Morris, 1994; Dentith, 1995). Makna pada dasarnya berada di luar orang dan teks:
Bahkan pengucapan paling primitif yang dihasilkan oleh organisme individual, dari sudut pandang isinya, kepentingan dan maknanya, tersusun diluar organisme tersebut, dalam kondisi ekstraorganisme dalam relung sosial. Pengucapan karenanya merupakan produk dari interaksi sosial (Bakhtin, dikutip dalam Dentith, 1995:138).
Dalam teori pengucapan ini, bahasa tidak dijelaskan sebagai sebuah sistem namun sebagai sederetan peristiwa, dimana makna dan nilai dibuat sebagai hasil dari interaksi dan konteks sosial tertentu.
2. Buber
Filsafat Buber menjelaskan kontras antara resiprositas serempak dan mutualitas hubungan manusia (dialog) dan hubungan utilitarian yang dimodelkan dalam sisi ilmiah subjek dan objek (monolog). Sebagai teolog, Buber percaya bahwa agama lah menciptakan hubungan mutual antara manusia, namun filsafatnya penuh berisikan kemanusiaan yang mendalam selain visi spiritual. Buber menolak memisahkan religius dari sekuler, dan melihat misteri mendalam pada kreativitas sebagai karakteristik manusia dan juga ilahiah. Adalah kemanusiaannya pada pengamatannya mengenai hubungan pribadi dan kreativitas yang sangat berguna bagi tujuan kita sekarang.
Tujuan Buber dalam Dialogue (1929) adalah menggambarkan dan memperjelas prinsip dialogisnya, yang telah pada awalnya dibangun dalam karya yang lebih mistik berjudul I and Thou. Intuisi Buber pada dialog adalah bahwa hubunganlah yang menyusun ‘mutualitas aksi internal’(hal. 25). Gerakan dasar kehidupan dialog bergerak menuju lainnya. Keluar dari mutualitas ini adalah penciptaan kelompok komunikasi. Buber memahami bahwa ia berusaha menjelaskan sesuatu yang hampir tak terekspresikan dalam bahasa biasa. Ia melihat dialog sebagai sesuatu yang lebih mendasar daripada signifikansi lainnya:
Dialog manusia, karenanya, walaupun memiliki kehidupan berbeda dalam tanda, yaitu suara dan gerakan … dapat ada tanpa tanda, namun tidak diakui dalam bentuk yang dapat dipahami secara objektif. Di sisi lain, sebuah unsur komunikasi, betapapun internalnya, tampak merupakan milik esensinya … Kehidupan dialog tidak terbatas pada lalu lintas manusia satu sama lain; ia telah menunjukkan dirinya berhubungan dengan manusia satu sama lain yang hanya dapat disajikan dalam lalu lintasnya (Buber, 1961: 20-25).
Dialog diawali dengan ‘dimana kemanusiaan bermula’ (hal. 54):
Dialog bukanlah masalah kemewahan spiritual, ia adalah masalah penciptaan mahluk … Agar jelas maksudnya contohnya adalah seorang pekerja yang dapat mengalami hubungannya dengan mesin, bahkan hubungan ini dapat dipandang sebagai sebuah dialog, saat, misalnya, seorang kompositor memberi tahu kalau ia memahami suara gumam mesin sebagai “tersenyum pada saat karena membantunya mengatasi masalah dan kendala yang mengganggu dan menyakitinya, sehingga sekarang ia dapat bekerja dengan baik” (Buber, 1961:55-57).
Dialog adalah masalah penciptaan. Ia adalah masalah tindakan bersama. Ia bukan sesuatu yang terjadi pada satu partisipan saja, sebagaimana dijelaskan oleh teori transmisi monologis, namun sesuatu yang orang (semua orang, semua yang terlibat dalam dialog) lakukan – bahkan saat, seperti dijelaskan dalam kutipan sebelumnya, salah satu partisipan dapat berupa mesin – dan kita melakukan ini karena kita secara aktif (mungkin, seperti dalam kasus pekerja Buber, kadang sedang bermain-main) memberikan minat dan kepengarangan pada partisipan lainnya (Sless dan Shrensky, 1995). Mutualitas dan resiprositas dianggap sebagai kondisi a priori yang perlu untuk komunikasi.
Pemahaman Bakhtin pada komunikasi sebagai peristiwa dan pandangan Buber bahwa ia adalah prinsip dasar yang intisarinya adalah penciptaan hubungan manusia memberikan intuisi baru komunikasi yang jauh terlepas dari pandangan komunikasi instrumental sebagai alat yang kita gunakan untuk menyatakan gagasan kita. Sebaliknya, ia menjadi alat dimana gagasan dibuat.
3. Wittgenstein
Wittgenstein dalam Investigations menggeser penekanan dalam filsafat linguistik lepas dari pandangan bahasa sebagai sistem tanda formal, statis dan diperumum kepada pandangan bahasa dalam penggunaan pada konteks aktivitas sosial sehari-hari. Bahasa selalu menjadi fenomena publik; tidak ada yang namanya bahasa pribadi (hal. 241):
Ia adalah apa yang dikatakan manusia sebagai benar dan salah; dan mereka setuju dalam bahasa yang mereka gunakan. Ini bukan kesepakatan pendapat namun dalam bentuk kehidupan (hal. 241).
Yang dimaksud ‘bentuk kehidupan’ oleh Wittgenstein menurut penulis adalah sesuatu seperti aktivitas sosial bertujuan konvensional atau terikat aturan. Wittgenstein berpendapat bahwa makna kata-kata suatu bahasa tidak berada dalam objek yang dinamakan oleh kata tersebut, namun dalam bagaimana kata-kata tersebut digunakan dalam masyarakat linguistik: ‘Bahasa adalah sesuatu yang diucapkan’, seperti diekspresikan oleh Rush Rhees (1954:94) dalam artikelnya mengenai argumen bahasa privat.
Dalam bagian selanjutnya dari bab ini, penulis akan memberikan argumen-argumen yang lebih detil mengenai pemahaman penulis pada pendekatan Wittgenstein, dan bagaimana ia dapat sesuai dengan model komunikasi yang penulis kembangkan untuk komunikasi publik.
C. Unsur-Unsur Komunikasi Dialogis
Dalam disertasi ini, penulis mengadopsi sebuah ontologi komunikasi yang berbeda secara radikal dari teori dan praktek yang umum diikuti. Teori tradisional mereduksi komunikasi pada tiga unsur berbeda dan diskrit – pengirim, pesan dan penerima – dan menyatakan komunikasi sebagai pengiriman pesan (sebuah kognisi pra ada yang tersandikan dalam sistem tanda) dari pengirim (komunikator aktif dan asal pesan, sebagai pengarang atau teks) kepada penerima (tujuan pasif yang akan dipengaruhi pesan). Dalam pendekatan dialogis pada komunikasi yang penulis sarankan, komunikasi memiliki karakteristik sebagai berikut (akan dijelaskan secara detail di depan):
- Bahasa dinyatakan sebagai sederetan peristiwa atau tindakan;
- Hubungan antara gagasan dan dunia adalah resiprositas bersama;
- Makna muncul sebagai produk interaksi dialektikal antara individu, atau antara individu dan teks;
- Kognisi adalah produk komunikasi
dan seterusnya ….
02 January 2011
Disertasi Komunikasi
Disertasi komunikasi mestinya bukan masalah bagi mereka yang menghabiskan seluruh waktunya membaca, memikirkan dan mempelajari bagaimana berkomunikasi lewat berbagai bentuk media. Sayangnya, tidak ada yang semudah itu saat kertas dan pen tradisional menjadi media yang dipilih.
Pertama-tama, anda harus memiliki sesuatu yang penting untuk dikomunikasikan. Masalah yang muncul pada mereka yang memilih bidang keilmuan komunikasi adalah sifat dari bidang ini yang telah merembes pada seluruh aspek yang dapat dikomunikasikan. Cara terbaik anda adalah memilih sebuah topik, lama atau baru, lalu sedikit mengganti judulnya. Bahkan walaupun internet sudah ada semenjak dua dekade, ia masih merupakan media komunikasi yang ber-evolusi terus menerus dan semakin menyebar setiap harinya. Untuk pertama kalinya, komunikasi internasional menjadi seketika bagi sebagian besar pengguna internet di dunia. Tidak peduli aspek komunikasi apa yang anda pilih untuk disertasi, hal ini jelas harus dipertimbangkan.
Beberapa topik disertasi komunikasi yang bagus antara lain:
- Penggunaan Bahasa Pemasaran dalam Komunikasi
- Hukum Hak Cipta dalam Media
- Internet sebagai Medium Pemasaran
- Internet sebagai Kendaraan Politik
- Media dan Pola Konsumsi
- Pers Kecil dan Kebebasan Berkomunikasi
- Radio dan Komunikasi
- Televisi dan Komunikasi Pemasaran
- Komunikasi Media Berita
- Teori Komunikasi
- Kepribadian Komunikasi
- Komunikasi Media Internasional
Setelah anda memilih topik anda dan penggubahan yang memasukkan sudut baru, keluar dan carilah orang untuk diwawancarai dan tanyakan hal-hal yang dapat membantu anda menulis. Sebagai mahasiswa pasca sarjana komunikasi, tidak ada yang lebih tahu dari anda kecuali para dosen dan pakar. Dapatkan alamat email, kantor dan tanyakan hal-hal penting pada mereka. Pinta wawancara email bila mereka sangat sibuk dan/atau jauh dari anda sekarang. Sayangnya, karena status mereka sebagai ahli dalam bidangnya, kemungkinan besar ada orang selain anda yang meminta informasi, saran dan pendapat keilmuan. Untungnya, para ahli ini menghargai pembicaraan mengenai bidang keilmuannya.
Sesi wawancara dan pertanyaan serta jawaban ini akan lebih membantu anda ketimbang semata menciptakan disertasi komunikasi yang asli sepenuhnya. Anda akan sekaligus menciptakan kontak dalam bidang keilmuan ini. Sebagai seseorang yang akan segera lulus dengan gelar doktor komunikasi di pasar tenaga kerja, memiliki hubungan sosial dengan sesama pakar komunikasi akan sangat menguntungkan. Ia juga akan membantu anda memunculkan impresi sebagai orang yang cerdas, supel dan menarik. Gigih namun tidak mengganggu. Membantu namun tidak mengancam.
Setelah anda menyelesaikan disertasi anda, kirimkan salinan anda pada pakar yang telah membantu anda. Lebih baik lagi, jadikan disertasi komunikasi anda sebagai sebuah buku yang diterbitkan untuk umum. Hal ini bukan hanya mengukuhkan nama anda di masyarakat, namun pula membangun portofolio, dan menciptakan impresi membantu dengan profesional lainnya yang membaca disertasi anda, namun jangan lupakan mereka yang telah membantu anda dalam proses penulisan disertasi anda. Promosikan mereka pula sebagai ahli di bidang komunikasi. Baik bagi mereka, baik bagi karir anda. Disertasi komunikasi adalah produk pendidikan tertinggi anda dan langkah pertama untuk mengukuhkan diri anda sebagai pakar dalam ilmu komunikasi.
Subscribe to:
Posts (Atom)