04 February 2011

Disertasi terbaik April 2010 : Virulensi Jamur Jaring meningkat lewat Reproduksi Seksual

Kultivar gandum Finlandia telah relatif sangat resistan terhadap jamur jaring, sejenis penyakit tanaman paling umum ditemukan pada gandum di Finlandia. Walau begitu, ada peningkatan reproduksi seksual patogen yang dapat membuat situasi menjadi jauh lebih buruk di masa depan.
Marja Jalli, ilmuan penelitian di Penelitian Pangan Pertanian MTT Finlandia, menemukan metode untuk menilai virulensi jamur jaring dalam kondisi rumah kaca dalam disertasi doktornya. Disertasi ini mengungkapkan kalau virulensi populasi patogen jamur jaring Finlandia telah berubah sangat sedikit dalam 15 tahun terakhir.
“Kultivar resisten kuantiatif Finlandia yang baru relatif baik pada penyakit ini. Bila gandum menunjukkan resistensi spesifik yang lebih tinggi, maka patogennya juga akan tumbuh lebih kuat,” kata Jalli menjelaskan.
Jamur jaring dapat menyebabkan kerugian pertanian besar
Jamur jaring menghasilkan gejala mirip jaring di daun gandum. Penyakit ini menghancurkan klorofil dan mengurangi luas permukaan daun tanaman. Pada kasus terburuk, infeksi jamur jaring parah dapat menyebabkan tanaman kehilangan 30 persen daunnya. Dalam bentuk sekarang ini, penyakit ini masih dapat ditangani.


Di Finlandia, ascomycetes yang menyebabkan penyakit jamur jaring (Pyrenophora teres Drechs.) sebagian besar bereproduksi secara aseksual lewat spora. Patogen ini juga mampu melakukan reproduksi seksual, yang diketahui terjadi pada taraf tertentu.
Reproduksi seksual mengubah virulensi
Disertasi ini berbasis pada populasi sekitar 240 isolat jamur jaring yang dikumpulkan dari pertanian gandum di berbagai bagian Finlandia antara tahun 1994 dan 2007. Jalli mempelajari pengaruh reproduksi seksual pada virulensi jamur jaring dalam kondisi laboratorium. Hasilnya mengejutkan.
“Dengan menyilangkan dua isolat jamur jaring yang keduanya tidak mampu mengatasi resistensi gandum, kami berhasil menghasilkan isolat keturunan yang mampu menyebabkan gejala bahkan bila tanaman gandum tersebut telah sepenuhnya resisten terhadap penyakit ini,” jelas Jalli.
Di masa depan, reproduksi seksual patogen ini diduga juga akan meningkat dalam kondisi lapangan, karena iklim berubah dan popularitas pertanian teras rendah serta spesialisasi dalam monokultur gandum yang membuat kondisi semakin menguntungkan bagi penyakit ini.
Pembiakkan tidak boleh hanya terfokus pada satu gen
Virulensi jamur jaring bukanlah hasil dari satu gen saja namun dari proses hereditas yang lebih rumit. Jalli percaya kalau pembiakkan resisten harus tidak semata berfokus pada satu faktor saja.
“Usaha-usaha harus dibuat untuk juga memperkenalkan faktor resisten baru pada kultivar gandum saat pembiakan. Genom gandum ras darat dan gandum liar, misalnya, diharap terbukti berguna dalam hal ini,” jelasnya.
Kultivar gandum yang dibahas dalam disertasi doktor ini juga ditemukan mengandung unsur yang sangat resisten pada jamur jaring dan belum pernah digunakan sebelumnya dalam pembiakan resisten.
Benchmark untuk penelitian internasional
Jamur jaring sebelumnya telah ditemukan menjadi masalah kultivar gandum yang tumbuh di iklim utara. Dalam tahun-tahun terakhir, minat pada patogen ini mulai meningkat pula di lintang lainnya.
Disertasi doktor Jalli mengkhususkan sembilan kultivar gandum berbeda yang dipilih dengan bekerjasama dengan para ilmuan penelitian internasional dan kemudian dapat dipakai sebagai benchmark untuk pengukuran kehandalan virulensi jamur jaring di penjuru dunia.

03 February 2011

Disertasi Terbaik Januari 2011: Jaringan Ponsel tanpa Base Station

Generasi baru teknologi telepon seluler memungkinkan berkomunikasi langsung dari satu telepon ke telepon lainnya tanpa harus bertopang pada base station. Sebuah disertasi dari Universitas Linkoping di Swedia menyajikan sebuah program yang bekerja pada telepon dan dapat mengirim pesan bahkan saat infrastruktur telekomunikasi terputus.
Bencana alam dalam beberapa tahun terakhir telah menunjukkan betapa rentannya masyarakat kita pada peristiwa yang tak terlihat dan merusak. Pada saat yang sama, kita telah melihat kalau ada keinginan kuat untuk membantu masyarakat di daerah bencana. Namun agar operasi penyelamatan bekerja, telekomunikasi harus berjalan.




Base station telepon seluler dan telepon satelit adalah sangat penting namun mereka memiliki keterbatasan dalam hal biaya, waktu pembangunan, dan akses dalam skala besar. Mikael Asplund, seorang kandidat doktor dalam ilmu komputer sekarang menyajikan pengganti saluran komunikasi yang ada saat krisis.
Gagasannya adalah menggunakan generasi baru telpon seluler untuk mengirim pesan langsung dari satu ponsel ke ponsel lainnya. Keuntungan tipe jaringan spontan ini adalah ia dapat digunakan siapa saja, tanpa perangkat khusus, dan dapat disetel seketika untuk memecahkan masalah yang muncul di tempat tertentu.
Namun jaringan demikian bukan hanya membawa potensi besar, namun juga tantangan tersendiri. Hal ini karena celah dan partisi jaringan dapat naik, sehingga tidak ada yang dapat lagi mengirim pesan. Di saat yang sama, penggunaan baterai yang besar memerlukan efisiensi energi yang tinggi. Mikael Asplund dan rekan-rekannya telah merancang program yang dapat mengatasi kesulitan ini saat ia dijalankan di telepon sehingga memungkinkan pengiriman pesan dalam kondisi sangat buruk.
Bagian pertama disertasi beliau juga berurusan dengan partisi jaringan dalam lingkungan yang lebih terkendali. Masalah ini dapat muncul misalnya saat sebuah bank internet mengalami gangguan dalam koneksi jaringannya ke bagian lain bank. Disertasi ini menyajikan metode agar bank dapat terus memberikan layanan pada nasabahnya walaupun ada kerusakan dalam jaringan telekomunikasi.

Contoh topik disertasi Perbandingan Agama

  1. Keutamaan intelegensi dalam agama-agama di Indonesia
  2. Pesan dari agama suku di Sumatera Utara
  3. Islam dan kesaradaran mengenai kemutlakan
  4. Mengenai keabadian dalam agama
  5. Lagu anggur (al-Khamriyyah) dari Umar ibnu al Farid
  6. Kejayaan spritiual agama suku di Jambi
  7. Fungsi eliatik
  8. Meditasi perjalanan
  9. Simbolisme taman Tao
  10. Perubahan dalam monoteisme semitik
  11. Siapa yang menjadi wakil Timur?
  12. Masalah seksualitas dalam agama
  13. Pemikiran kuintessensial
  14. Ilmu dan teknologi dalam islam tradisional: refleksi pada karya tulis terbaru
  15. Derajat seni dalam agama
  16. Kesadaran kristus Blake
  17. Aspek tradisi agama kaharingan modern di Kalimantan Barat
  18. Atas nama Yesus
  19. Landasan estetika integral dalam agama
  20. Naga yang menelan santo George
  21. Beberapa pemikiran mengenai festival dunia islam di Eropa
  22. Bhagavad Gita: Pendahuluan bagi pembaca Indonesia
  23. Pesan agama suku di Sulawesi Tengah terhadap dunia modern
  24. Simbolisme langit dalam agama
  25. Sains modern dan dehumanisasi manusia
  26. Perisai Achilles
  27. Fabel Sufi – ‘Dongeng Ikan’ karya Shah Da’I I Shirazi
  28. Metafisik polifoni musikal
  29. Kehidupan para nomaden
  30. Tiga dimensi sufisme
  31. Dengan semua pikiran kalian
  32. Mistisisme Islam
  33. Islam dan musik

Mutu Disertasi Indonesia dilihat dari Indeks Potensi Inovasi

Disertasi dimaksudkan untuk menciptakan pengetahuan baru atau inovasi baru bagi bidang ilmu yang bersangkutan. Pengetahuan ataupun inovasi tersebut merupakan output dari pendidikan semenjak lahir hingga lulus dengan gelar doktor. Bila kita batasi rentang pengetahuan tersebut sebatas program pasca sarjana s3 saja, maka inputnya adalah potensi calon mahasiswa s3 untuk menghasilkan pengetahuan baru atau inovasi baru tersebut. Disinilah letak hubungan indeks potensi inovasi terhadap mutu disertasi itu sendiri.
Kita mengharapkan bahwa dalam disertasi telah tertuang segala potensi inovasi dan pengetahuan yang telah kita pelajari selama ini. Walau begitu, setiap individu memiliki potensi yang berbeda. Hal ini dapat dirata-ratakan hingga seluruh populasi di suatu negara.
Global Innovation Index 2009-2010 telah melakukan survey terhadap 132 negara, salah satunya Indonesia. Salah satu surveynya menghasilkan nilai indeks potensi inovasi. Bagaimana indeks potensi inovasi Indonesia relatif terhadap negara lain? Tabel berikut menampilkan lima besar negara dengan indek potensi inovasi di wilayah Asia Tenggara, Asia dan Dunia.
Negara
Ranking Asia Tenggara
Ranking Asia
Ranking Dunia
Finlandia
-
-
1
Islandia
-
-
2
Swedia
-
-
3
Amerika Serikat
-
-
4
Denmark
-
-
5
Taiwan
-
1
6
Jepang
-
2
7
Korea Selatan
-
3
8
Singapura
1
4
10
Israel
-
5
13
Indonesia
2
13
59
Filipina
3
17
69
Thailand
4
19
72
Vietnam
5
20
73
Cukup baik posisi Indonesia di Asia Tenggara. Kita urutan kedua sebagai negara dengan indeks potensi inovasi tertinggi di Asia Tenggara. Sayangnya, hal ini masih berupa potensi. Sesuatu yang dapat mewujud, namun dapat juga hanya terpendam semakin dalam, jika salah dikembangkan. Adalah tugas kami sebagai jasa penulisan disertasi untuk mengembangkan pengetahuan dan potensi inovasi anda dalam bidang keilmuan anda. Dalam bekerja sama dengan kami, anda bukan hanya memperoleh rekan dialog untuk berbagi ide dan pengetahuan, namun anda juga dapat memperoleh masukan-masukan keilmuan penting serta referensi-referensi yang sulit anda peroleh jika anda bekerja sendiri atau tidak dengan profesional. Mari kita kembangkan potensi yang telah ada di diri anda sekarang. Hubungi kami di penulisdisertasi@gmail.com

Contoh bab 3 disertasi Ilmu Komunikasi

A. Pendahuluan
Bab ini dan bab selanjutnya akan memberikan pendekatan pada komunikasi yang akan digunakan penulis untuk mengkritik kampanye komunikasi publik. Model komunikasi ini berdasarkan pada apa yang dikenal sebagai prinsip dialogis. Ia memiliki dua tampilan prinsipil yang berbeda dari pendekatan komunikasi lainnya: pertama ia memperlakukan bahasa sebagai sebuah peristiwa, bukannya sistem; kedua, ia memperlakukan makna sebagai sifat yang muncul, dimana makna dibangkitkan oleh interaksi dua atau lebih partisipan dalam sebuah peristiwa komunikasi dan hanya muncul sebagai hasil tindakan bersama.
Banyak pengarang telah tertarik pada pandangan komunikasi ini dan telah ada banyak pembahasan mengenai pergeseran paradigma saat teoritikus komunikasi mulai menggunakan terminologi prinsip dialogis. Walau begitu, sebagaimana yang akan ditunjukkan oleh penulis, sebagian besar penulis ini telah lama memeluk sifat radikal prinsip dialogis dan belum melihat bahwa bukan hanya sekedar terminologi yang harus dirubah. Dalam kebanyakan kasus tidak ada pergeseran paradigma sama sekali, namun hanya perubahan dalam teori dan model yang telah ada.
Dalam bab ini, penulis memperkenalkan prinsip dialogis, dan memeriksa aspek yang relevan dari paradigma kemanusiaan dan ilmu sosial. Konsentrasi pada bab ini dan selanjutnya ada pada aspek konseptual berbagai pendekatan komunikasi, sementara pertimbangan etik dan praktis akan dibahas di sepanjang disertasi.
Penulis mendekati bab ini menggunakan prinsip dialogis dengan kehati-hatian. Seperti banyak orang yang telah menulis mengenai komunikasi, penulis menyadari ketidakcukupan komunikasi tradisional dalam membahas subjek ini. Namun sebagaimana akan penulis arungi menuju model baru kampanye komunikasi publik, model komunikasi sebagai percakapan yang akan membawa kita dari model transmisi, penulis sadar akan adanya sebuah ironi: sangat sulit melakukan percakapan diperluas mengenai topik ini. Kita tidak memiliki kosakata dan metafora penunjangnya untuk melakukan percakapan mengenai percakapan. Model yang ada sangat kabur dan cair sehingga menyelusup ke semua komunikasi mengenai komunikasi. Apa yang kita perlukan sekarang adalah metafora-metafora baru yang memungkinkan kita membahas dan menulis dengan yakin mengenai komunikasi tanpa berimplikasi pada pergerakan makna dari satu individu ke individu lain.
Dalam model komunikasi sebagai percakapan yang ingin penulis kembangkan untuk kampanye komunikasi publik, makna tidak berlompatan dari orang ke orang, namun diciptakan dalam tindakan perckapan. Komunikasi adalah sebuah peristiwa yang memunculkan perubahan; namun komunikasi sendiri tidak melibatkan pergerakan, dari satu tempat ke tempat lainnya, baik dari pesan maupun makna. Instrumen komunikasi bergerak – gelombang udara bergetar, kertas dipertukarkan, sinyal elektronis berdenyut di kabel dan berpendar di layar – namun interaksi bermakna antar manusia tidaklah sama seperti instrumen yang digunakan untuk berinteraksi. Inilah kesalahan dasar Weaver saat beliau menerapkan model komunikasi matematis Shannon untuk mencakup semua komunikasi manusia; ia salah mengambil instrumental untuk esensial. Namun Weaver tergoda dengan metafora umum sebagaimana orang-orang sebelumnya. Dalam bab sebelumnya penulis telah menjelaskan ketidakmampuan para ilmuan komunikasi untuk membuang kebiasaan ini dalam pikirannya; dalam bab ini, penulis akan kembali menunjukkan bagaimana kuatnya metafora dan keyakinan yang dipegang luas mengenai komunikasi, membawa pada mereka yang ingin mengubah paradigma menuju dialogis kembali terjatuh pada kebiasaan berpikir dan berperilaku model pengirim – pesan – penerima.
Walau begitu, bukan metafora komunikasi semata yang perlu diubah. Penulis berpendapat bahwa paradigma komunikasi yang menginformasikan kelembagaan kita, hubungan formal dan publik memiliki tampilan yang sama dengan paradigma cabang pengetahuan manusia lainnya. Penulis yakin bahwa satu-satunya jalan untuk meningkatkan hubungan ini adalah perubahan radikal dalam paradigma komunikasi, yang tergantung untuk berhasil pada perubahan radikal paradigma lainnya.
Paradigma dominan ilmu sosial memiliki banyak kesamaan dengan sains akhir abad ke-19. Karena sains adalah sebuah lembaga dalam batasan pemikiran barat klasik, tidaklah mengherankan kalau asumsi sains dan cabang-cabangnya ditandai dengan karakteristik epistemologis yang umum ditemukan pada bentuk wacana lainnya, yang sepanjang abad telah menjadi bagian pemikiran dasar kita yang kita berikan label asumsi ‘masuk akal.’ Tampilan paradigma ilmu sosial tradisional mencakup empat elemen epistemologis yang signifikan untuk penelitian disertasi ini: linearitas, struktur, reifikasi dan reduksionisme (lihat halaman 121 dibawah). Bahkan kalau ada panggilan untuk menggeser paradigma, usaha untuk melakukannya biasanya berada didalam berbagai ranah postmodernisme, yang secara umum tidak berhasil, karena dua alasan penting: pertama, setiap perubahan yang dibuat hanya terjadi dalam batasan disiplin tertentu, dan bukan pada skema konseptual keseluruhan; dan kedua, perubahan yang dibuat hanya pada satu atau dua komponen kecil paradigma, bukan pada paradigma itu sendiri secara keseluruhan. Penulis akan menunjukkan di bawah bahwa kesarjanaan postmodernisme tidaklah konsisten dan tidak pula menyeluruh dalam hal berikut: kita melihat kejanggalan kecil pada paradigma lama, namun paradigma lama ini tetap mampu tumbuh di atas luka-luka tersebut.
B. Cara Baru Membicarakan Komunikasi
Penulis mengambil titik awal pada posisi tiga filsuf: intelektual Rusia, Bakhtin (1895-1975) dan/atau Voloshinov (1884-1936), khususnya dalam Marxisme dan Filsafat Bahasa 1929; teologian dan filsuf Austria, Martin Buber (1878-1965) dalam Dialog 1929; dan Ludwig Wittgenstein (1878-1965) dalam karyanya Penyelidikan Filosofis 1953.
Bakhtin dan Buber, yang menghasilkan karya mereka di tahun 1920an dan 30an, menunjukkan sifat dasar komunikasi yang menurut penulis paling memuaskan dan bermanfaat. Pandangan mereka mengenai sifat komunikasi, yang kadang disebut prinsip dialogis (khususnya dalam membahas karya Bakhtin), membawa komunikasi lepas dari pendekatan instrumental mekanistik yang telah mendominasi pemikiran Barat dalam bidang ini sejak lama, dan masih hingga sekarang. Walau begitu, penulis tidak akan menggunakan terminologi mereka, karena penulis memilih istilah ‘percakapan’ sementara mereka menggunakan istilah ‘dialog’, dan menggunakan dialog sebagai bentuk sekunder dan turunan dari percakapan (seperti menurut penulis, berlaku pada semua bentuk lain komunikasi, termasuk komunikasi massa dan komunikasi publik). Alasan penulis mengadopsi istilah ‘percakapan’ sebagai pengganti ‘dialog’ akan dijelaskan dalam bab berikutnya.
Wittgenstein tidak menggunakan istilah ‘dialog’ atau ‘percakapan’, namun memilih ‘bahasa’ dan ‘permainan-bahasa’. Namun dalam Investigations, bahasa dan makna adalah bahasa dan makna yang digunakan: tidak masuk akal merujuk pada bahasa kecuali dalam hal berkomunikasi dengan orang lain. Pemaksaannya bahwa bahasa pada dasarnya publik – bahwa setiap aspek psikologis tidak relevan pada bagaimana individu menggunakan bahasa dan merumuskan makna – memberikan intisari prinsip dialogis.
1. Bakhtin
Kesarjanaan Bakhtinian telah menghabiskan cukup waktu dalam membahas apakah tulisan yang dinisbahkan pada dua pendahulu Bakhtin, Medvedev dan Voloshnikov, sesungguhnya ditulis oleh Bakhtin, dan hal ini menghasilkan kebingungan dalam nomenklatur dan juga kepengarangan. Ketidakpastian mengenai kepengarangan ini dicerminkan dalam beragam nama: sebagian kritikus merujuk pada pengarang Marxisme dan Filsafat Bahasa adalah Bakhtin (misalnya Todorov), yang lain Voloshnikov (misalnya Hodge dan Kress), dan yang lain Voloshnikov/Bakhtin (misalnya Morris). Untuk keberanian dan kemudahan pembacaan, penulis merujuk pada Bakhtin.
Pendekatan pertama pada komunikasi yang penulis pandang berguna untuk wacana publik mengikuti teori penyebutan Bakhtin. Bakhtin mengembangkan pendekatan bahasa dan komunikasinya, terutama pada tahun 1930an, sebagai kritik pada teori linguistik strukturalis Saussure dan Jakobson. Ia mengantisipasi tema ‘konstruksi sosial realitas’ lewat bahasa, yang telah menjadi, paling tidak secara nominal, karakteristik dari banyak pendekatan terbaru dalam sosiologi. Dalam pandangan Bakhtin, wacana tidak mencerminkan dunia, namun membentuknya lewat pengucapan; pandangan umum bahwa seseorang menyandikan dan mengirimkan isi pikirannya lewat pesan, yang kemudian disandikan dan ditafsirkan oleh orang lain, tidak perlu sejalan dengan realitas diskursif. Sebaliknya, pengucapan tidak akan ada hingga mereka dikonstruksi antara orang-orang yang terorganisir secara sosial dimana hubungannya berada dalam kondisi bentuk dan transformasi yang permanen.
Frase ‘konstruksi sosial realitas’ sering ditafsirkan oleh sosiolog modern berdasarkan perspektif Kartesius, dimana masing-masing dari kita (sebagai subjek) mengkonstruksi dunia sosial kita (objek) menggunakan bahasa dan lambang lainnya sebagai alat operasional. Pendekatan dalam teori komunikasi yang dikenal sebagai interaksionisme simbolik adalah salah satu penafsiran subjek-objek instrumentalis demikian. Disertasi ini tidak menganut pandangan interaksionis simbolik.
Bakhtin menekankan dualitas takterkurangi dari pengucapan bermakna, sementara makna tidak berada dalam orang atau teks apapun tapi merupakan produk dari interaksi interlokutor dalam konteks sosial unik (Todorov, 1984; Morris, 1994; Dentith, 1995). Makna pada dasarnya berada di luar orang dan teks:
Bahkan pengucapan paling primitif yang dihasilkan oleh organisme individual, dari sudut pandang isinya, kepentingan dan maknanya, tersusun diluar organisme tersebut, dalam kondisi ekstraorganisme dalam relung sosial. Pengucapan karenanya merupakan produk dari interaksi sosial (Bakhtin, dikutip dalam Dentith, 1995:138).
Dalam teori pengucapan ini, bahasa tidak dijelaskan sebagai sebuah sistem namun sebagai sederetan peristiwa, dimana makna dan nilai dibuat sebagai hasil dari interaksi dan konteks sosial tertentu.
2. Buber
Filsafat Buber menjelaskan kontras antara resiprositas serempak dan mutualitas hubungan manusia (dialog) dan hubungan utilitarian yang dimodelkan dalam sisi ilmiah subjek dan objek (monolog). Sebagai teolog, Buber percaya bahwa agama lah menciptakan hubungan mutual antara manusia, namun filsafatnya penuh berisikan kemanusiaan yang mendalam selain visi spiritual. Buber menolak memisahkan religius dari sekuler, dan melihat misteri mendalam pada kreativitas sebagai karakteristik manusia dan juga ilahiah. Adalah kemanusiaannya pada pengamatannya mengenai hubungan pribadi dan kreativitas yang sangat berguna bagi tujuan kita sekarang.
Tujuan Buber dalam Dialogue (1929) adalah menggambarkan dan memperjelas prinsip dialogisnya, yang telah pada awalnya dibangun dalam karya yang lebih mistik berjudul I and Thou. Intuisi Buber pada dialog adalah bahwa hubunganlah yang menyusun ‘mutualitas aksi internal’(hal. 25). Gerakan dasar kehidupan dialog bergerak menuju lainnya. Keluar dari mutualitas ini adalah penciptaan kelompok komunikasi. Buber memahami bahwa ia berusaha menjelaskan sesuatu yang hampir tak terekspresikan dalam bahasa biasa. Ia melihat dialog sebagai sesuatu yang lebih mendasar daripada signifikansi lainnya:
Dialog manusia, karenanya, walaupun memiliki kehidupan berbeda dalam tanda, yaitu suara dan gerakan … dapat ada tanpa tanda, namun tidak diakui dalam bentuk yang dapat dipahami secara objektif. Di sisi lain, sebuah unsur komunikasi, betapapun internalnya, tampak merupakan milik esensinya … Kehidupan dialog tidak terbatas pada lalu lintas manusia satu sama lain; ia telah menunjukkan dirinya berhubungan dengan manusia satu sama lain yang hanya dapat disajikan dalam lalu lintasnya (Buber, 1961: 20-25).
Dialog diawali dengan ‘dimana kemanusiaan bermula’ (hal. 54):
Dialog bukanlah masalah kemewahan spiritual, ia adalah masalah penciptaan mahluk … Agar jelas maksudnya contohnya adalah seorang pekerja yang dapat mengalami hubungannya dengan mesin, bahkan hubungan ini dapat dipandang sebagai sebuah dialog, saat, misalnya, seorang kompositor memberi tahu kalau ia memahami suara gumam mesin sebagai “tersenyum pada saat karena membantunya mengatasi masalah dan kendala yang mengganggu dan menyakitinya, sehingga sekarang ia dapat bekerja dengan baik” (Buber, 1961:55-57).
Dialog adalah masalah penciptaan. Ia adalah masalah tindakan bersama. Ia bukan sesuatu yang terjadi pada satu partisipan saja, sebagaimana dijelaskan oleh teori transmisi monologis, namun sesuatu yang orang (semua orang, semua yang terlibat dalam dialog) lakukan – bahkan saat, seperti dijelaskan dalam kutipan sebelumnya, salah satu partisipan dapat berupa mesin – dan kita melakukan ini karena kita secara aktif (mungkin, seperti dalam kasus pekerja Buber, kadang sedang bermain-main) memberikan minat dan kepengarangan pada partisipan lainnya (Sless dan Shrensky, 1995). Mutualitas dan resiprositas dianggap sebagai kondisi a priori yang perlu untuk komunikasi.
Pemahaman Bakhtin pada komunikasi sebagai peristiwa dan pandangan Buber bahwa ia adalah prinsip dasar yang intisarinya adalah penciptaan hubungan manusia memberikan intuisi baru komunikasi yang jauh terlepas dari pandangan komunikasi instrumental sebagai alat yang kita gunakan untuk menyatakan gagasan kita. Sebaliknya, ia menjadi alat dimana gagasan dibuat.
3. Wittgenstein
Wittgenstein dalam Investigations menggeser penekanan dalam filsafat linguistik lepas dari pandangan bahasa sebagai sistem tanda formal, statis dan diperumum kepada pandangan bahasa dalam penggunaan pada konteks aktivitas sosial sehari-hari. Bahasa selalu menjadi fenomena publik; tidak ada yang namanya bahasa pribadi (hal. 241):
Ia adalah apa yang dikatakan manusia sebagai benar dan salah; dan mereka setuju dalam bahasa yang mereka gunakan. Ini bukan kesepakatan pendapat namun dalam bentuk kehidupan (hal. 241).
Yang dimaksud ‘bentuk kehidupan’ oleh Wittgenstein menurut penulis adalah sesuatu seperti aktivitas sosial bertujuan konvensional atau terikat aturan. Wittgenstein berpendapat bahwa makna kata-kata suatu bahasa tidak berada dalam objek yang dinamakan oleh kata tersebut, namun dalam bagaimana kata-kata tersebut digunakan dalam masyarakat linguistik: ‘Bahasa adalah sesuatu yang diucapkan’, seperti diekspresikan oleh Rush Rhees (1954:94) dalam artikelnya mengenai argumen bahasa privat.
Dalam bagian selanjutnya dari bab ini, penulis akan memberikan argumen-argumen yang lebih detil mengenai pemahaman penulis pada pendekatan Wittgenstein, dan bagaimana ia dapat sesuai dengan model komunikasi yang penulis kembangkan untuk komunikasi publik.
C. Unsur-Unsur Komunikasi Dialogis
Dalam disertasi ini, penulis mengadopsi sebuah ontologi komunikasi yang berbeda secara radikal dari teori dan praktek yang umum diikuti. Teori tradisional mereduksi komunikasi pada tiga unsur berbeda dan diskrit – pengirim, pesan dan penerima – dan menyatakan komunikasi sebagai pengiriman pesan (sebuah kognisi pra ada yang tersandikan dalam sistem tanda) dari pengirim (komunikator aktif dan asal pesan, sebagai pengarang atau teks) kepada penerima (tujuan pasif yang akan dipengaruhi pesan). Dalam pendekatan dialogis pada komunikasi yang penulis sarankan, komunikasi memiliki karakteristik sebagai berikut (akan dijelaskan secara detail di depan):
  • Bahasa dinyatakan sebagai sederetan peristiwa atau tindakan;
  • Hubungan antara gagasan dan dunia adalah resiprositas bersama;
  • Makna muncul sebagai produk interaksi dialektikal antara individu, atau antara individu dan teks;
  • Kognisi adalah produk komunikasi
dan seterusnya ….

Disertasi Terbaik Maret 2010: Penemuan Jalur Sinyal Ingatan

Dalam disertasinya di Universitas Umea, Swedia, Kristiina Kompus menunjukkan bahwa ingatan manusia diaktifkan secara spontan lewat beberapa cara. Kristiina menemukan bahwa jalur sinyal dan bagian otak yang terlibat saat kita mencoba untuk mengingat sesuatu, sepenuhnya berbeda dengan mengingat sesuatu secara seketika seperti saat mencium bau, melihat gambar, mendengarkan kata-kata pemicu.
Bayangkan anda diminta mengingat apa yang anda lakukan seminggu lalu. Anda mungkin harus melakukan tindakan metal yang cukup keras untuk memindai ingatan anda. Dalam kesempatan lain, sebuah aroma, gambar atau kata dapat seketika dan tak terduga memicu ingatan jelas mengenai sesuatu yang pernah terjadi. Sains masih belum cukup mengerti mengapa otak kadang secara otomatis memasok kita dengan ingatan yang tidak perlu lagi kita usahakan untuk diingat, sementara mengapa, di kesempatan lainnya, kita tidak dapat mengingat hal-hal tertentu walaupun kita berusaha keras untuk mengingatnya.


Studi yang dilakukan dalam disertasi Kristiina Kompus menunjukkan kalau kedua cara mengingat hal-hal ini dipicu oleh jalur sinyal yang berbeda di otak. Usaha untuk mengingat kembali ingatan tertentu berurusan dengan bagian atas frontal lobe. Menurut disertasi tersebut, daerah otak ini teraktivasi bukan hanya dalam hubungannya dengan usaha terkait ingatan namun juga dalam semua tipe usaha dan minat mental. Bagian otak ini tidak terlibat di awal proses yang tidak sengaja mengingat sesuatu sebagai respon pada stimuli luar. Justru, ingatan tersebut diaktifkan oleh sinyal-sinyal khusus dari bagian lain otak, yaitu yang berurusan dengan stimuli seperti bau, gambar dan kata. Sebelumnya ingatan demikian dianggap para ilmuan harus lebih jelas dan emosional; jika tidak ia tidak akan dapat diaktifkan dengan cara demikian. Namun disertasi Kristiina Kompus menunjukkan kalau hal ini tidak harus – ingatan tidak mesti bermuatan emosional untuk dapat dipanggil seketika dan tak terduga. Ingatan yang diperoleh secara spontan juga tidak mengaktifkan bagian lain otak lebih dari yang dilakukan model ingatan lainnya.
Studi ini juga mengungkapkan bahwa ingatan jangka panjang kita lebih fleksibel daripada yang diduga sebelumnya. Tidak hanya ada satu jalur sinyal syaraf yang bertugas untuk menarik ingatan lama namun ada beberapa jalur yang terpisah secara anatomis. Penemuan ini penting karena ia membantu kita memahami bagaimana kita dapat membantu orang yang mengalami kesulitan dalam mengingat, tidak peduli apakah akibat penuaan atau karena gangguan otak. Ia juga dapat membantu orang yang dihantui oleh ingatan buruk dari masa lalunya. Hal ini dapat terjadi setelah pengalaman traumatis dan juga dapat terjadi akibat depresi.
Disertasi ini menggunakan kombinasi dua metode pencitraan otak: pencitraan resonansi magnetik fungsional (fMRI) dan elektroensepalografi (EEG). Kedua metode memberi informasi berbeda mengenai fungsi otak. Dengan mengkombinasikannya, Kristina Kompus mampu menentukan bagian otak mana yang aktif dan bagaimana aktivasi berlangsung dalam selang waktu yang sangat singkat, dalam ordo seperseribu detik saja.

Disertasi Terbaik Mei 2010 : Kondisi Komunikasi Perawat dan Pasien Masalah Gigi dan Kulit yang Buruk

Masalah-masalah yang dihadapi pasien saat kondisi dental atau kulit sering dipandang berbeda oleh perawat. Hal ini ditunjukkan dalam disertasi Francesca Sampogna, seorang peneliti epidemiologi dari Istituto Dermopatico dell'Immacolata di Roma.
“Untuk membatasi masalah ini, arah khusus dalam komunikasi harus dimasukkan dalam pelatihan personil keperawatan,” kata beliau. Ia mempertahankan disertasinya berjudul Kualitas Kehidupan dan Penanganan Penderitaan oleh Perawat dan Pasien dalam Kondisi Oral dan Kulit di Fakultas Odontologi, Universitas Malmo.
Diperlukan komunikasi yang baik agar perawat memahami masalah pasiennya sementara disaat bersamaan memberi tahu pasien mengenai kondisi mereka. Dalam disertasinya, Fransesca Sampogna menyelidiki bagaimana perawat memandang situasi psikososial pasien karena kondisi kulit atau gigi. Salah satu temuannya adalah dermatologis sering mengabaikan kemunculan rasa takut dan depresi pada pasien mereka.
“Saya yakin hal ini merupakan hasil komunikasi yang buruk dengan pasien, namun juga berdasarkan fakta bahwa dokter hanya melihat pada situasi klinis. Di saat yang sama, saya sadar kalau tidaklah mudah mengevaluasi status mental pasien dalam hanya beberapa menit, namun bahkan dalam waktu terbatas, seorang dokter harus mampu menciptakan dialog dengan pasiennya untuk mendapatkan petunjuk bagaimana kondisi tersebut mempengaruhi kehidupan psikososial pasien.”


Dua studi dalam disertasinya berurusan dengan pasien dengan kondisi dental. Hasilnya menunjukkan kalau dokter gigi memiliki kecenderungan mengabaikan kualitas hidup pasiennya. Ini artinya secara umum status kesehatan gigi pasien tidak harus memiliki pengaruh negatif demikian pada kualitas hidup sebagaimana dipercaya dokter gigi.
“Ini penemuan menarik, dan saya percaya sebagian penjelasan dapat ditemukan dalam perbedaan dalam bagaimana pasien dan dokter gigi atau perawat gigi memandang situasinya. Bagi pasien, kondisi gigi, walaupun mungkin serius, hanyalah satu dari banyak komponen hidupnya, sementara penyedia pengetahuan perawat pada kondisi ini dapat membawa mereka pada pengabaian bagaimana pasien terpengaruh olehnya.”
Studi keempat menyelidiki bagaimana dokter gigi dan pasien memandang keparahan kondisi dalam kasus masalah selaput lendir mulut di rongga mulut. Penemuan menunjukkan perbedaan besar antara kedua kelompok, dimana pasien memandang masalah mereka jauh lebih besar daripada dokter gigi.
“Saat membahas tentang masalah gigi dan kulit, tampaknya seringkali staff baik itu dokter maupun perawat tidak memandang situasi psikososial pasien mereka dan tidak setuju dengan pandangan pasien.”
Dalam disertasinya, Francesca Sampogna telah menunjukkan pentingnya komunikasi yang baik antara pasien dan staff untuk memahami apa kebutuhan khusus sang pasien.
“Perbedaan yang saya temukan dalam studi-studi saya adalah tanda adanya masalah komunikasi. Karenanya, arah komunikasi khusus harus dimasukkan dalam pelatihan penyedia kesehatan dan menjadi bagian dari pendidikan berkelanjutan,” kata beliau.