03 February 2011

Contoh Bab Empat Disertasi Pendidikan

A. Pendahuluan
Dalam bab ini, keempat guru honorer yang berpartisipasi dalam studi diperkenalkan dan data yang dikumpulkan dari wawancara dan entri jurnal disajikan. Data disajikan bukan dalam bentuk daftar atau tabulasi namun dalam bentuk narasi cerita negosiasi jalur efikasi profesional. Kisah-kisah yang diambil dari data dalam wawancara dan jurnal guru (lihat Bab Tiga: Halaman 51) ditulis dalam sudut pandang orang ketiga. Walau begitu, kisah-kisah ini sering mengandung kutipan panjang yang diambil langsung dari wawancara dan jurnal dalam usaha untuk menekankan pentingnya persepsi pengalaman sebagaimana yang diekspresikan oleh guru honorer. Guru honorer dirujuk sebagai narator kisah untuk menggariskan bahwa ini adalah kisah mereka yang sedang diceritakan. Format cerita untuk penyajian data dipilih sebagai usaha untuk mendekati semangat “pengalaman langsung” yang intens (Clandinin dan Connely, 2000:128) yang ada dalam semua narasi guru honorer. Kisah dari tiap guru honorer/narator diceritakan dalam dua bagian.
  • Bagian Satu mengenai hal-hal dan pengalaman yang mempengaruhi guru honorer dan reaksi mereka pada praktek mengajar.
  • Bagian Dua mengenai hubungan pengalaman tersebut dengan perkembangan pengetahuan dan naluri efikasi profesional.
Walau tidak diceritakan secara tepat berurutan, penyusunan kembali episode-episode dan peristiwa-peristiwa dari semua data dari tiap guru honorer, kisahnya dapat disusun dalam bentuk kronologis. Di akhir Bagian Satu adalah sebuah gambar yang mengilustrasikan proses konstruksi keyakinan dan teori privat dari kolisi yang dialami narator. Pada akhir Bagian Dua adalah gambar yang mengilustrasikan hubungan pengalaman guru honorer pada perkembangan naluri efikasi profesional mereka.
Pada Bagian Satu, kisah-kisah yang berhubungan dengan narator yang tiba pada keputusan untuk menjadi guru (masing-masing kisah diberi subjudul dengan pernyataan “misi” yang dikutip langsung (Korthagen, 2004; ditelusuri November 2004) dan kemudian seperti apa rasanya di ruang kelas. Dalam peristiwa-peristiwa yang telah mereka pilih untuk ceritakan dan jelaskan, pengalaman-pengalaman yang berkesan dan menggerakkan guru honorer diperjelas dan di analisa. Analisis dan penafsiran (diambil dengan metode analitik tiga kluster) dari peran signifikan pengalaman menemani deskripsi peristiwa – sehingga data dan analisis data serentak disajikan dalam cerita. Pengungkapan tiap kisah mengikuti pola yang kurang lebih sama dalam menekankan pengembangan pengetahuan yang disajikan sebagai keyakinan individual dan teori privat guru honorer.
Pola ini pada awalnya muncul saat penyandian dan penyandian ulang jam-jam wawancara dan entri jurnal. Dalam satu dari banyak bacaan data, gambaran jelas “kolisi” (tabrakan tidak sengaja dari perilaku dan peristiwa) mendadak menangkap apa yang tampaknya terjadi dalam kehidupan semua guru honorer. Analisa ulang data kembali dengan bantuan penemuan gambaran baru ini mengungkapkan barisan sejajar perkembangan keyakinan dan teori privat. Pada awalnya, kolisi dikategorikan secara umum sebagai “latar belakang pribadi” “profesional” dan “universitas”. Walau demikian, setelah pemeriksaan lebih jauh, masing-masing guru honorer tampaknya telah mengalami kolisi yang unik dalam kategori tersebut yang mempengaruhi perkembangan keyakinan individual dan teori privat mereka. Dalam kisah-kisah tersebut, penafsiran keyakinan (pernyataan pengetahuan abstrak universal) dan teori privat (pernyatan ringkas “Saya harus” atau “Saya mesti” yang tampak bertindak sebagai pemandu perilaku) kemudian diturunkan dari sebuah analisa peristiwa disekitar kolisi dan bahasa yang dipergunakan untuk menjelaskan kolisi tersebut. Masing-masing kisah diceritakan menggunakan bentuk pencitraan kolisi individual dan pernyataan keyakinan dan teori privatnya sebagai lambang sentral dan esensial dalam proses belajar menjadi guru yang efektif.
Seperti banyak peristiwa yang mungkin terjadi dalam kehidupan narator dan banyaknya hasil dari analisis yang mungkin disajikan dalam teori-teorinya. Walau begitu, ruang yang ada membatasi penulis untuk menyajikan setiap pengalaman atau hasil analisis. (Semua wawancara tersedia bila diminta.) Episode-episode yang tidak dipilih – seperti ketidak setujuan terisolasi dimana salah satu narator hadapi dengan seorang rekannya mengenai mood sang kolega yang mengganggu – tidak dimasukkan karena peristiwa ini tampaknya tidak memiliki indikasi yang penting dan merupakan hal yang terus terjadi dalam narasi. Insiden-insiden yang tidak berulang atau disebutkan hanya sedikit ditafsirkan sebagai yang kurang relevan dengan perkembangan naluri efikasi profesional. Begitu juga, citra terisolasi atau anomali struktural bahasa yang tidak sepertinya menjadi bagian dari pola umum seperti penggunaan istilah “bekerja terus sampai koma” oleh salah satu narator (Ros, 2009: Wawancara 1) dicatat dalam teks cerita. Di sisi lain dimana penafsiran didukung oleh lebih dari satu perangkat data – seperti tiga pernyataan yang menunjukkan satu tema – biasanya hanya satu insiden disebutkan dalam kisahnya untuk menghindari kesan persuasi yang berlebihan. Insiden atau pernyataan yang disajikan adalah yang telah terpilih atas keragaman ekspresinya dan atas penyajian khas kepribadian guru honorer – sebagai contoh dalam salah satu kisah narator tampaknya menekankan pentingnya sebuah insiden lewat sebuah “cerita pendek” yang sangat panjang yang juga menunjukkan afeksi dan kepeduliannya pada murid-muridnya. Gaya ekspresi individual dari tiap guru honorer menambah dalam dan menariknya cerita begitu pula menjadi elemen penting analisis.
Keempat guru honorer dalam bab ini dengan baik hati memberikan waktunya ditengah jadwal yang sangat menuntut untuk menceritakan pengalaman mereka dan kisah berkelanjutan mengenai bagaimana ia berubah dari pelajar menjadi pengajar. Alasan mereka untuk melakukan hal tersebut beragam. Masing-masing narator tertarik dalam menganalisa dan menawarkan saran untuk mengembangkan program penyetaraan guru untuk membantu mengembangkan dan memperbaiki komponen-komponennya bagi siswa selanjutnya. Lebih jauh, semua narator merencanakan pada suatu waktu akan melanjutkan studi mereka melebihi program penyetaraan dan tertarik dalam proses penelitian studi ini. Masing-masing ingin menyumbangkan kisahnya pada studi ini dan menekankan kesetujuan mereka dengan pentingnya tujuan penelitian. Mereka juga mengatakan bahwa dengan ikut serta pada penelitian ini, mereka meningkatkan pemahaman mereka sendiri mengenai pengalaman dari pelajar menjadi pengajar pula. Cukup membantu membicarakan mengenai apa yang terjadi pada diri mereka. Beberapa narator mengatakan bahwa mereka menikmati kesempatan mengungkapkan dan membahas peristiwa mengajar dengan orang luar yang tertarik dan tidak memihak. Salah satu narator mengatakan, “Anda membantu saya merefleksikan diri …” (Delima, 2009: Wawancara 2) dan yang lain mengatakan bahwa wawancara ini adalah “penyelamat hidup” (Lili, 2010: pertemuan informal seminar Oktober) dalam melalui masa-masa ragu. Semua narator tergerak oleh niat dan keseriusan dari analisis yang panjang dan detil dari kata-kata yang mereka ucapkan secara spontan dan memperhatikan dengan seksama penjelasan penafsiran persepsi mereka. Kisah-kisah mereka diceritakan dan ditulis dalam potongan-potongan lalu menjadi satu keseluruhan bagi mereka dan bagi penulis lewat proses analisis narasi.
Akhirnya, masing-masing guru honorer dalam kisah-kisah ini menggunakan pseudonim – nama sebuah bunga. Nama-nama bunga dipilih sebagai citra dari tiap narator karena kualitas kesegarannya – bersinar dan penting sekaligus baru dan tidak berpengalaman. Guru honorer, seperti bunga, mereka dinamakan atas kerapuhannya namun mengandung ketegaran yang membawanya melalui masa belajar untuk menjadi guru. Di Indonesia sendiri bunga adalah citra dominan – ada beribu ragam bunga (sebagian tidak dapat ditemukan di tempat lain di dunia ini) tumbuh di negara tropis ini. Seperti halnya ada banyak sekali bunga di taman, begitu juga ada banyak persepsi belajar menjadi pengajar disajikan dalam sejumlah besar cara.
B. Kisah Ros:
‘Saya ingin menjadi guru hebat yang bermakna bagi hidup anak.’
Ros ikut serta dalam program universitas di tahun pertama keberadaannya dari Januari hingga Desember 2009. Ia diwawancarai tujuh kali sepanjang tahun selalu di universitas setelah ia selesai mengajar di pagi hari dan kuliah atau menyelesaikan tugas kuliah di sore hari. Di malam hari ia akan bekerja di rumah untuk menyiapkan “tugas belajar” rencana pengajaran (DeKock dan Slabbert, 2004: 12) untuk besok harinya. Wawancara kedelapan dilakukan di sekolah dimana ia akan mengajar penuh setelah lulus. Karena tekanan jadwalnya yang sibuk, sesi wawancara masing-masing panjangnya sekitar 45 menit. Jurnal reflektifnya dibaca pada akhir masanya di kampus. Penulis mengunjunginya suatu pagi di sekolah pertama dimana ia ditugaskan mengajar. Ia dijelaskan dalam teks sebagai wanita muda tinggi dan menarik di awal usia dua puluhan. Bahasa ibunya bahasa Skeah namun kami melakukan wawancara dalam bahasa Indonesia. Ia mengatakan bahwa ia tidak malu dan tidak peduli mengenai isu kerahasiaan dalam wawancara. ‘Apa yang saya katakan kepada anda juga akan saya katakan pada orang lain …” (Ros, 2009: Wawancara 1).
Beliau menandatangani pernyataan kerahasiaan. (Lihat Lampiran I) Pada waktu wawancara ia telah tinggal dengan orang tuanya dan beberapa saudara di pinggiran kota dalam kompleks berpagar, tidak menikah dan tidak punya anak. Gaya berbicara Ros dalam wawancara hidup dan lancar dan member kesan seseorang dengan semangat dramatis. Analisis isi dan bahasa narasi beliau menggunakan metode kluster performatif, struktural dan sastra menunjukkan insidensi tinggi penggunaan bahasa figuratif dan presentasi tema, sedikit penggunaan wacana, makna situatif kata dan monolog interior dan hanya satu kesempatan episode kritis. Ros menjelaskan dirinya sebagai seorang ‘perfeksionis’ dan ‘pecinta organisasi’, ‘orang yang terstruktur’ namun dapat ‘terlalu emosional’ (Ros, 2009: Wawancara 5). Ia juga menjelaskan dirinya sebagai orang yang mandiri. “Saya sangat senang menjadi mandiri. Masalahnya … karena saya terlalu mandiri … (Ros, 2009: Wawancara 2). Sering saat kami bertemu ia tampak kelelahan dan teralihkan: “Ros tampaknya letih dan tidak bersemangat hari ini. Ada lingkaran hitam dibawah matanya” (Catatan lapangan, 8 Mei 2009). Walau begitu, dalam tiap pertemuan, kesan dominan dirinya adalah bahwa ia berniat menjadi guru dan sangat ingin memenuhi misinya sebagai “guru hebat (yang) sangat berarti bagi anak...” (Ros, 2009: Wawancara 2). Naluri determinasinya tidak pernah meninggalkan dirinya dan sesulit apapun masa itu bagianya, ia tidak pernah menyebutkan kalau ia berpikir akan berhenti kuliah.
Ros menghabiskan tahun praktikumnya di universitas dengan mengalami dan menunjukkan perasaan (dalam bahasa figuratif yang jelas) dari kebingungan hingga menjadi “malaikat” (Ros, 2009: Wawancara 1) dan “penonton” (Ros, 2009: Wawancara 2) “mimpi buruk” (Ros, 2009: Wawancara 2) dan “mukjizat” (Ros, 2009: Wawancara 1). Baginya itu adalah tahun yang ia sebut sebagai “kolisi”.
Saya benar-benar bertabrakan di tengah karena saya orang yang sangat sopan dan santun namun bekerja dengan anak-anak yang tidak punya sopan santun … Tabrakan yang nyata terjadi saat saya mencoba menyuruh mereka melakukan sesuatu namun mereka malah mengejek saya … (Ros, 2009: Wawancara 4).
Kisah Ros penuh dengan peristiwa kolisi dan keyakinan serta teori privat dari dalam kelas dan dari luar kelas. Sebagian keyakinan dan teori privatnya dibawakan dari pengalaman masa lalunya dan sebagian dikembangkan atau terungkap saat ia melalui pengalaman mengajar pertamanya.
Dari sejak awal kisah Ros menjadi seorang guru, citra “kolisi” dari satu hal atau lainnya adalah gaya yang berpengaruh dalam hidupnya. Sebagai contoh, keputusan Ros untuk menjadi guru berdasarkan pada kecintaannya dalam mengajar. “Saya senang menjelaskan sesuatu dan saya juga tipe tutor yang baik …” (Ros, 2009: Wawancara 1). Ia sering mengekspresikan keinginannya untuk membuat perbedaan dalam “skala besar” (Ros, 2009: Wawancara 1) lewat pengajarannya – sebuah tema yang sering terjadi berulang kali dalam narasinya. Walau begitu, komitmen Ros untuk menjadi guru tidak dipandang ringan. Ayahnya tidak setuju atas pilihannya untuk menjadikan guru sebagai sebuah profesi.
Ayah saya tidak ingin saya mengajar. Ia seorang akuntan dan mengatakan bahwa mengajar tidak menghasilkan uang. Namun saya menyukai apa yang saya lakukan … (Ros, 2009: Wawancara 1).
Ia menceritakan masa kecilnya sebagai masa yang “sangat indah” (Ros, 2009: Wawancara 2) jadi untuk menyenangkan hati ayahnya ia mengambil kuliah S1 di bidang psikologi, menghabiskan beberapa tahun di luar daerah dan mencoba mengambil pekerjaan yang mewah dan menghasilkan (Ros, 2009: Wawancara 1). Dalam apa yang dapat disebut sebagai “episode kritis” (Elbaz, 1991:17), ia mengatakan :
Dan seterusnya …..



01 February 2011

Contoh Bab Pendahuluan Disertasi Manajemen Sumber Daya Alam dan Lingkungan

Di awal tahun 1950an, croaker bertubuh besar (Sciaenidae) yang disebut Bahaba china (Bahaba taipingensis), endemik di daerah ini, umum ditemukan sepanjang pesisir Laut China Selatan dan Timur (Gambar 1.1). Gelembung renangnya bernilai sebagai tonik dalam pengobatan tradisional China. Selama masa melimpah di muara-muara utama, nelayan lokal menangkap penumpukan bahaba menggunakan seines kantong artisanal dan jaring insang. Tangkapan lebih dari satu ton per angkat umum ditemukan dan individu dengan berat lebih dari 50 kg tidak jarang didapat. Perkiraan tidak langsung tangkapan tahunan dari Hong Kong lebih dari 50 ton per tahun di tahun 1940an (Sadovy dan Cheung, 2003). Walau begitu, di tahun 2000an, hanya beberapa individu per tahun yang tertangkap sepanjang seluruh pesisir China. Spesies ini sekarang terdaftar sebagai spesies “langka kritis” dalam Daftar Merah Spesies Terancam Punah IUCN (Baillie et al, 2004). Kisah ikan lainnya yang terancam oleh eksploitasi perikanan telah didokumentasikan pula, seperti common skate (Raja batis) di Laut Utara (Brander, 1981), grouper Nassau (Epinephelus striatus) di Karibia (Sadovy, 1993; Sala et al, 2001; Sadovy, 2005), dan wrasse kapala bungkuk di daerah Indo-Pasifik (Sadovy et al, 2003).
Eksploitasi samudera telah meningkat dengan cepat dalam dekade ini dan perikanan menjadi bentuk utama penggunaan langsungnya (Pauly et al, 2002). Berdasarkan statistik perikanan yang dikumpulkan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), pendaratan total yang dilaporkan dari laut meningkat dari kurang dari 20 hingga lebih dari 82 juta ton dari tahun 1950 hingga tahun 2000an. Bila tangkapan yang dibuang, ilegal, tidak dilaporkan dan tidak diatur juga dimasukkan, tangkapan global menanjak hingga hampir 150 juta ton pada akhir 1980an, yang kemudian menurun secara perlahan (Pauly et al, 2002). Tahun 2003, sekitar seperempat stok yang diawasi oleh FAO dikatakan dieksploitasi rendah (3 persen) atau menengah (21 persen). 52 persen dieksploitasi penuh (produksi dekat pada batas keberlanjutan maksimumnya), sementara sekitar seperempat lainnya dieksploitasi berlebihan (16 persen), menuju habis (7 persen) atau pulih dari hampir habis (1 persen). Hal ini mewakili peningkatan proporsi stok yang eksploitasi berlebihan atau mulai habis dari sekitar 10 persen di pertengahan 1970an menjadi hampir 25 persen di awal 2003 (FAO, 2004).
Gambar 1.1. Sebuah spesimen Bahaba taipingensis (> 2m) tertangkap 30 Desember 1993 di pesisir Teluk Castle Peak, Hong Kong barat, oleh penangkapan trawler secara tidak sengaja. Foto aslinya diterbitkan dalam Sadovy dan Cheung (2003).
1.1 Penangkapan sebagai ancaman konservasi utama ikan laut
Keruntuhan stok perikanan utama dan langkanya sejumlah ikan laut menyarankan bahwa spesies kelautan rentang pada penyusutan ekstrim, atau bahkan kepunahan, yang dihasilkan langsung atau tidak langsung dari penangkapan (Roberts dan Hawkins, 1999; Powles et al, 2000; Dulvy et al, 2003; Sadovy dan Cheung, 2003). Sementara mayoritas sumberdaya perikanan dunia dieksploitasi sepenuhnya dan berlebihan (Pauly et al, 2002; Hilborn et al, 2004a), penangkapan dipandang sebagai ancaman pelestarian utama ikan laut (Reynolds et al, 2001; Dulvy et al, 2003). Sejajar dengan skala penangkapan yang meningkat, kelimpahan banyak ikan laut telah menurun secara besar-besaran di penjuru dunia dalam lima dekade terakhir. Di Atlantik Utara, ikan tingkat trofik tinggi telah menurun dua pertiganya sejak tahun 1950an (Christensen et al, 2003). Selama 50 tahun terakhir, populasi anakan dari populasi ikan laut dari penjuru dunia menurun pada median 65%, dengan lebih 28 populasi yang menurun lebih dari 80% (Hutchings dan Reynolds, 2004; Reynolds et al, 2005a). Spesies penting komersial dapat diturunkan hingga tingkat rentan karena nilai ekonomisnya, misalnya Bahaba China (Bahaba taipingensis, Scianidae) (Sadovy dan Cheung, 2003), Tuna sirip biru selatan (Thunnus maccoyii, Scombridae) (Hayes, 1997). Walau begitu, spesies dengan nilai komersial rendah atau tidak memiliki nilai komersial tidak aman dari ancaman penangkapan karena spesies non target dapat terancam lewat penangkapan (misalnya Common skate, Raja batis, Rajiidae, Brander 1981; Barndoor skate, Raja laevis, Rajiidae, Casey dan Myers, 1998). Lebih jauh, aktivitas penangkapan dapat menciptakan gangguan dan kerusakan besar habitat bentik (Jennings et al. 2001; Kaiser et al. 2002; Kaiser et al. 2003). Penurunan dan kepunahan dapat berasosiasi dengan kehilangan habitat mendasar yang kritis untuk melengkapi siklus hidup spesies (McDowall 1992; Watling dan Norse 1998).
Penangkapan dapat juga menyebabkan hilangnya keanekaragaman genetik (Law, 2000). Sebagian populasi snapper Selandia Baru (Pagrus auratus, Hauser et al, 2002) dan kod Atlantik (Gadus morhua, Hutchinson et al, 2003) menunjukkan penurunan signifikan dalam keanekaragaman genetik selama sejarah eksploitasinya. Selain itu, ukuran populasi efektif menentukan sifat genetik sebuah populasi sekitar seperlima dari ukuran populasi sensus (kelimpahan total perkiraan) dalam beberapa populasi ikan yang dieksploitasi (Hauser et al. 2002; Hutchinson et al. 2003; Hoarau et al. 2004). Ukuran populasi efektif yang rendah dapat menghasilkan saling kawin dalam populasi dan hilangnya keanekaragaman genetik (Hauser et al. 2002; Hutchinson et al. 2003; Hoarau et al. 2004). Karenanya, diperlukan pengawasan dan pengaturan keanekaragaman genetik dari populasi laut yang dieksploitasi (Kenchington et al. 2003).
Hilangnya keanekaragaman hayati dapat langsung atau tidak langsung mempengaruhi fungsi ekosistem (Loreau et al. 2001; Worm & Duffy 2003; Worm et al. 2006). Pembuangan spesies kunci yang mencakup spesies yang kritis pada fungsi ekologis pada komunitas atau habitat dalam keadaan asal mereka (Zacharias dan Roff 2001), dapat menghasilkan pergeseran keadaan dalam ekosistem laut. Sebagai contoh, pembuangan berang-berang laut di Kepulauan Aleutian menghasilkan ekspansi populasi teripang yang segera menghabiskan ganggang besar berdaging seperti kelp dan mempengaruhi komunitas yang berkaitan (Tegner dan Dayton 2000; Jackson et al. 2001). Di sisi lain, penyusutan pemakan ganggang seperti ikan kakaktua membawa pada pertumbuhan ganggang besar-besaran pada permukaan karang yang sangat mempengaruhi ekosistem terumbu karang (Bellwood et al. 2004). Sebagian penelitian menyarankan bahwa keanekaragaman hayati berkorelasi secara positif dengan fungsi ekosistem (Tilman et al. 1997; Symstad et al. 1998; Worm et al. 2006), dan stabilitas serta resiliensi ekosistem (Tilman dan Downing 1994; Tilman 1996; Scheffer et al. 2001). Hal ini didukung oleh meta analisis data yang menunjukkan korelasi signifikan antara keanekaragaman hayati laut dan fungsi ekosistem (Worm et al. 2006). Jadi, secara umum disepakati bahwa kekayaan spesies yang tinggi diperlukan untuk mempertahankan stabilitas proses ekosistem melawan variabilitas lingkungan (Loreau et al. 2001).
1.2 Ikan laut mungkin rentan punah
Ada keyakinan umum di masa lalu bahwa ikan laut tidak akan dapat punah karena satu ekor betina dapat menghasilkan jutaan telur dan memiliki jangkauan geografis yang besar. Walaupun disadari bahwa elasmobranchiata (hiu dan pari) rentan punah karena sejarah hidup dan ekologinya (Smith et al. 1998; Stevens 1999; Stevens et al. 2000), banyak ikan yang masih dipandang tidak dapat habis oleh sebagian. Persepsi demikian bertahan semenjak Jean Baptiste de Lamarck menyatakan di awal abad ke-19 bahwa:
‘Hewan yang hidup di air, khususnya air laut, terlindungi dari kehancuran spesies mereka oleh manusia. Penggandaannya sangat cepat dan sifatnya untuk menghindari perangkap dan kejaran begitu baik sehingga tidak ada kemungkinan untuk menghancurkan seluruh spesies hewan ini’ (Lamarck 1809, dicetak ulang tahun 1984).
Ini berarti sejumlah kecil individu dewasa tetap ada di samudera dan dapat mengisi laut dengan ikan secara cepat, dengan asumsi bahwa sebagian besar telur dapat berkembang menjadi ikan dewasa kembali dalam beberapa tahun kemudian. Selain itu, ikan laut juga secara umum memiliki jangkauan geografis luas dan menghasilkan telur pelagis yang dapat mengambang bersama arus samudera. Karenanya populasi ‘entah dimana’ dapat selalu mengkolonisasi kembali daerah penyusutan lokal.
Miskonsepsi bahwa ikan yang bertelur sangat banyak (yaitu mayoritas teleost) resilien terhadap penangkapan (kemampuan populasi untuk pulih) telah dipelajari dengan serius dan sebagian besar telah berhasil disanggah (Sadovy 2001; Dulvy et al. 2003). Ikan bertelur banyak tidak sama dengan resilien pada penangkapan (kemampuan populasi pulih setelah menyusut akibat penangkapan). Resiliensi sangat tergantung pada kemampuan bertahan hidup dari kondisi telur menuju dewasa, bukannya kelimpahan per se (Sadovy, 2001). Ikan yang menghasilkan jutaan telur sekaligus biasanya memiliki strategi ‘lindung-taruh’ dimana produksi sejumlah besar telur di evolusikan untuk mengkompensasi kelangsungan hidup yang rendah dari telur menuju dewasa (Phillipi dan Seger 1989). Teori sejarah hidup memprediksikan bahwa ikan (dan vertebrata lainnya) yang berukuran besar (umumnya teleost bertelur banyak) dan lamban menjadi dewasa memiliki tingkat peningkatan populasi intrinsik (r) yang rendah (Smith et al. 1998; Musick 1999b; Reynolds et al. 2001). Hewan dengan r rendah memiliki kemampuan pulih yang rendah setelah pengurangan populasi, dan karenanya resiliensi rendah pada penangkapan. Ada contoh-contoh ikan bertelur banyak yang menjadi langka akibat penangkapan, misalnya bahaba China (Sadovy dan Cheung, 2003), grouper Nassau (Epinephelus striatus) (Sadovy 1993; Sala et al. 2001) dan wrasse kepala bungkuk (Cheilinus undulates) (Sadovy et al. 2003). Hubungan antara sejarah hidup ikan dan kerentanannya pada penangkapan akan dijelajahi lebih jauh secara detil nanti.
Jangkauan geografis yang besar tidak menawarkan banyak perlindungan ikan dari ancaman penangkapan (Dulvy dan Reynolds 2002; Dulvy et al. 2003; Reynolds et al. 2005a). Studi genetik menyarankan bahwa persebaran telur dan larva pelagis dapat terbatasi (Swearer et al. 1999; Cowen et al. 2000). Selain itu, aktivitas penangkapan skala besar telah menyebar ke sebagian besar bagian samudera dan hanya ada beberapa tempat pengungsian ikan saja yang tersisa (Pauly et al. 2002; Pauly et al. 2005). Karenanya, ikan dengan jumlah telur banyak dan jangkauan geografis besar tidak dapat dianggap resilien atau tidak rentan.
Penangkapan dipandang sebagai ancaman kelestarian ikan laut hanya beberapa tahun belakangan (Powles et al. 2000). Faktanya, apakah penyusutan populasi ikan oleh penangkapan dapat dipandang sebagai masalah konservasi murni masih menjadi perdebatan para ilmuan perikanan dan biologiwan pelestarian (Carlton et al. 1999; Mace dan Hudson 1999; Powles et al. 2000; Hutchings 2001). Sebagai contoh, penilaian stok perikanan konvensional berdasarkan model produksi surplus sederhana menyarankan tangkapan keseimbangan maksimum dari sebuah populasi dapat dicapai dengan mengurangi kelimpahan stok hingga level dekat dengan separuh ukuran stok yang tidak dieksploitasi – tingkat penurunan (dalam bingkai-waktu tertentu) yang dapat jatuh pada kategori rentan dalam kriteria Daftar Merah IUCN. Daftar Merah IUCN yang dikelola oleh Uni Konservasi Dunia (WCU), diterima luas sebagai otoritas untuk menentukan resiko kepunahan hewan dan tanaman (Rodrigues et al. 2006), walaupun validitasnya untuk ikan laut masih dipertanyakan (Punt 2000; Reynolds et al. 2005a). Untuk memecahkan masalah ini, IUCN memasukkan threshold penurunan yang lebih tinggi untuk spesies dimana ‘penyebab penurunan ukuran populasinya jelas dapat dibalikkan, dan dipahami serta telah hilang’ (IUCN 2001). Walau begitu, bahkan bila penyebab pengurangan populasi dapat balik dan dipahami serta kebijakan manajemen telah diterapkan, populasi yang menyusut masih dapat untuk tidak mampu pulih (Hutchings 2000; Hutchings dan Reynolds 2004).
Dan seterusnya ….

Contoh Topik Disertasi Pendidikan Biologi

  1. Pemikiran mengenai landasan konseptual ilmu biologi
  2. Model untuk penggunaan cadangan konsep sebagai piranti untuk penugasan siswa dan perkembangan profesionalisme guru
  3. Pengajaran biologi matematis pada fakultas perikanan sarjana
  4. Penggunaan kemelekan kritis untuk mengeksplorasi genetika dan isu etis, hukum dan sosialnya dengan guru SMP
  5. Mempertahankan inovasi di masa krisis ekonomi
  6. Fokus pengajaran biologi umum mahasiswa sarjana pada keahlian kognitif tingkat rendah
  7. Pengembangan kerangka dan perangkat konseptual untuk penugasan penggunaan prinsipil model-model dalam biologi seluler pada mahasiswa s1
  8. Inkuiri berpusat pembelajar dalam biologi sarjana dan hubungannya dengan prestasi mahasiswa jangka panjang
  9. Strategi belajar sebelum kuliah dan hubungannya dengan peningkatan hasil belajar pada kelas biologi dasar besar
  10. Seberapa akurat kah penilaian oleh teman?
  11. Belajar terfasilitasi dalam kelas kuliah besar: Pengujian pendekatan tim mengajar pada belajar bersama
  12. Penggunaan penemuan untuk mengubah bagaimana siswa mengatasi masalah
  13. Latihan berbasis inkuiri multi bagian untuk pengajaran proses filogeni dan sistematika molekuler
  14. Persepsi fakultas dan metodologi efektif untuk pengajaran proses sains
  15. Integrasi informasi dan keberaksaraan ilmiah untuk memperkenalkan keberaksaraan pada mahasiswa sarjana
  16. Triad fakultas-pasca sarjana-sarjana: fungsi unik dan ketegangan dan hubungannya dengan pengalaman penelitian mahasiswa sarjana pada universitas penelitian
  17. Tantangan pendidikan sains kehidupan molekuler: karakteristik dan implikasi untuk pendidikan dan penelitian
  18. Bagaimana pendekatan mahasiswa biologi dan non biologi dalam mempelajari genetika
  19. Perbandingan pandangan sifat sains antara mahasiswa mipa dan non mipa
  20. Kemitraan pendidikan genomik: integrasi penelitian pada kelas laboratorium pada berbagai lembaga pendidikan tinggi
  21. Peningkatan sains fisik, matematika dan lintas disiplin dalam program biologi mahasiswa lewat Kimia fisik
  22. Kombinasi model genggam dan program pencitraan komputer untuk membantu siswa menjawab pertanyaan lisan mengenai struktur dan fungsi molekul: penyelidikan belajar siswa terkontrol
  23. Pengaruh minimal prasyarat kimia organik pada kinerja mahasiswa dalam mata kuliah biokimia dasar
  24. Pendekatan inkuiri untuk meningkatkan belajar mahasiswa dalam laboratorium mengajar
  25. Intervensi SMA untuk biologi influenza dan epidemik/pandemik: pengaruh pemahaman konseptual remaja
  26. Evaluasi redesain mata kuliah biologi sel
  27. Sel punca dan masyarakat: mata kuliah yang membahas persimpangan antara sains, agama dan hukum
  28. Integrasi biologi kuantitatif dan biologi matematika serta matematika biologi
  29. Bioinformatika dan kurikulum sarjana
  30. Perkenalan BioMaPS untuk pengajaran
  31. Model transformatif untuk pendidikan biologi kuantitatif mahasiswa
  32. Matematika, termodinamika dan pemodelan untuk menilai sepuluh miskonsepsi umum mengenai struktur, lipatan dan stabilitas protein
  33. Mempersiapkan guru untuk menghubungkan biologi dan matematika

Contoh Topik Disertasi Ilmu Hukum

  1. Pemerintah versus Ombudsman: Apa peran judicial review?
  2. Proporsionalitas bukan prasumsi
  3. Pembuangan diluar pengadilan (diluar pandangan)
  4. Pengabaian dan pembelaan dengan keahlian khusus
  5. Mesothelioma dan resiko yang dijelaskan dalam sidang tuntutan
  6. Siapa yang membayar untuk pengabaian sub kontraktor? Liabilitas biasa dan liabilitas untuk aktivitas sangat berbahaya
  7. Apakah saya dikelabui oleh tetangga saya yang pemabuk?
  8. Membuat keputusan disaat terganggu secara emosional karena pers
  9. Tuntutan bank di mahkamah agung
  10. Sifat kontraktual reasuransi
  11. Injungsi anti tuntutan dan klausa jurisdiksi non eksklusif
  12. Identifikasi uang pada hukum publik
  13. Subrogasi, akuntansi dan pengayaan yang tidak adil
  14. Penugasan maya dan utusan pengasingan sewa rumah
  15. Pre-nups, otonomi pribadi dan paternalisme
  16. Hari yang baik dan peringatan lisan untuk Pemerintah
  17. Jaksa Bao yang terlambat muncul
  18. Menafsirkan konsep baru dengar pendapat
  19. Hukum pidana hanya nama: Pembahasan sifat dan tujuan draft revisi KUHP
  20. Jurisdiksi peradilan untuk membatasi kreditor dari menyajikan petisi sirkuler dalam keberadaan lintas klaim
  21. Bersikap defensif terhadap pengabaian polisi: prinsip Hill, hak asasi manusia dan pengadilan agama ideal
  22. Pendekatan sepanjangan lengan – kembalinya modal yang tidak wajar
  23. Obat-obatan, kesalahan dan pembantaian: kombinasi kriminal?
  24. Prinsip, proses dan masalah Rekusal judisial
  25. Dasar-dasar Ekonomi hukum
  26. Pasal ketenagakerjaan dan kebijakan publik
  27. Kemajuan dalam hukum hak milik intelektual Indonesia
  28. Tugas konstitusional, diskresi administratif dan hak-hak sipil
  29. Mahkamah agung baru Indonesia, perpisahan antara kekuatan dan perangkat anti terorisme
  30. Pertanyaan mengenai keimanan
  31. Hak hidup keluarga dalam kasus ekstradisi
  32. Pengadilan yang adil dan jaminan penangkapan
  33. Penyebab: Apakah adil?

Memilih Topik untuk Disertasi Pertanian

Bagaimana kedengarannya disertasi pertanian bagi anda? Tentu saja anda mungkin tahu bagian dasar menulis sebuah disertasi namun apakah anda memiliki gagasan topik apa yang harus digunakan untuk disertasi anda? Biarkan kami memberikan beberapa tip mengenai bagaimana memilih topik makalah penelitian.
Pertama, anda perlu menentukan rentang minat yang akrab dengan anda. Dalam disertasi pertanian, ada banyak topik yang mungkin untuk dipilih. Penting kalau anda memiliki cukup pengetahuan mengenai topiknya sehingga anda dapat dengan mudah memanifestasikan kredibilitas anda dalam makalahnya.
Kedua, menulis disertasi melibatkan banyak parameter penelitian. Ada metode tertentu yang anda perlukan untuk mendapatkan hasil penelitian yang handal. Untuk topik pertanian anda, pastikan kalau anda memiliki subjek yang dapat diteliti. Ini artinya memungkinkan bagi anda untuk memakai metode penelitian dan menerapkannya pada subjek.
Ketiga, struktur disertasi dapat disadari memiliki topik yang signifikan. Selalu bagus bila anda dapat memperbaiki pentingnya membahas minat topik. Dengan hal ini, anda akan mampu memperoleh hasil yang relevan pada pembaca anda.
Disertasi pertanian tersedia dari kami. Anda dapat segera memperoleh dokumen contoh yang akan membantu anda mempertahankan pilihan topik. Namun bila anda membutuhkan bantuan menulis, penulis kami juga dapat menyediakan anda bantuan yang anda cari. Cukup hubungi penulisdisertasi@gmail.com untuk mendapatkan bantuan yang anda butuhkan.

Mutu Disertasi Kita di Tingkat Internasional

Disertasi dicirikan dengan penciptaan pengetahuan baru bagi sebuah bidang keilmuan. Sangat jarang kita menemukan nama orang Indonesia dalam kutipan di landasan teori disertasi. Hal ini mencerminkan rendahnya sumbangan Indonesia dalam penciptaan pengetahuan baru. Walaupun ada banyak program pasca sarjana yang memproduksi doktor di berbagai bidang, hal ini masih belum cukup menandingi laju penciptaan pengetahuan dari negara lain.
Laporan Global Innovation Index untuk tahun 2009-2010 telah dirilis. Laporan ini membeberkan ranking dan kondisi faktor-faktor inovasi di berbagai negara. Salah satu indeks yang paling relevan dengan disertasi adalah indeks penciptaan pengetahuan itu sendiri. Dengan melihat posisi kita dalam indeks penciptaan pengetahuan, kita dapat memperoleh gambaran sejauh mana mutu disertasi mahasiswa s3 di Indonesia relatif dengan negara lain di dunia.
Untuk edisi 2009-2010, indeks penciptaan pengetahuan diperoleh lewat survey di 132 negara. Berikut adalah urutan lima besar di tingkat Dunia, Asia dan Asia Tenggara.
Negara
Ranking Asia Tenggara
Ranking Asia
Ranking Dunia
Swiss
-
-
1
Swedia
-
-
2
Jepang
-
1
3
Finlandia
-
-
4
Denmark
-
-
5
Taiwan
-
2
7
Israel
-
3
8
Korea Selatan
-
4
11
Singapura
1
5
15
Malaysia
2
7
34
Timor Leste
3
12
44
Indonesia
4
14
60
Thailand
5
18
73
Dan disitulah kita, di urutan 73 dunia, di bawah rata-rata (batas 66). Di Asia kita hanya urutan ke-14 dan bahkan di Asia Tenggara kita masih kalah dari Timor Leste. Ini artinya, secara rata-rata, mutu disertasi mahasiswa doktoral yang kuliah di Timor Leste masih lebih baik daripada disertasi mahasiswa doktoral rata-rata yang kuliah di Indonesia. Ada apa ini?
Mengenai masalah penyebab rendahnya mutu disertasi dan penciptaan pengetahuan di Indonesia biarlah menjadi urusan penelitian lebih lanjut. Sekarang bagaimana kondisi ini dapat menguntungkan bagi anda. Bila anda seorang mahasiswa doktoral yang memiliki disertasi bermutu tinggi, jelas anda sangat beruntung. Disertasi anda berada jauh di atas rata-rata dan memenuhi standar Swiss, Swedia atau Jepang. Tapi membuat disertasi bermutu tinggi sangatlah sulit. Ini sudah terbukti dengan rendahnya posisi negara kita di daftar peringkat penciptaan pengetahuan. Walau begitu, anda hanya selangkah dari disertasi bermutu tinggi anda. Kami menyediakan jasa penulisan disertasi pesanan yang bermutu tinggi. Ditulis sesuai topik yang anda inginkan dan asli 100%, bukan menyalin, bukan menjiplak. Kami memiliki sumberdayanya, dan kami tidak segan bekerja seharian, bila perlu 24 jam untuk menghasilkan disertasi bermutu tinggi. Ini karena kami profesional dan berdedikasi penuh pada jasa penulisan disertasi. Bila anda sendiri yang membuatnya, mungkin ada banyak halangan dan gangguan konsentrasi, keluarga, pekerjaan, kuliah dan sebagainya. Kami tidak karena memang inilah pekerjaan kami. Kami telah berpengalaman menghasilkan banyak disertasi sejak tahun 2000. Jangan ragu lagi, hubungi kami di penulisdisertasi@gmail.com untuk mendapatkan formulir pemesanan, daftar harga dan detail mekanisme kerjasama kita. Kami tunggu.

Contoh Bab Dua Disertasi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam

Pertanyaan yang menjadi judul bab ini dapat diterjemahkan baik sebagai ‘Apa itu Sains?’ atau ‘Apa itu Ilmu Pengetahuan Alam?’ Pertanyaan pertama akan diselidiki dalam sub bab 2.1, dimana pendekatannya adalah dengan memeriksa batasan antara sains dan sejumlah tipe pengetahuan lain seperti filsafat, teknologi, ilmu sosial dan saintisme, serta pengetahuan pribumi. Bagian dari pemeriksaan ini adalah pengenalan kebutuhan untuk memperjelas sifat kanon utama sains, berdasarkan definisi yaitu bagian terjauh dari batasan-batasan tersebut. Perbatasan epistemologis demikian telah dikritik luas dalam kesarjanaan pasca kolonial atas peran mereka dalam pemikiran dan praktek ekslusi (Carter, 2006). Walau demikian, penulis akan berpendapat untuk manfaat (dari sudut pandang Melayu) untuk mengklarifikasikan batas-batas sains, untuk meletakkan sains tetap ‘pada tempatnya’. Sebagian dari peneliti dasar-dasar ‘sains’ menghasilkan sejumlah ciri sains, ciri yang dapat dipahami merujuk pada bagian sains yang berada di antara kanon pusatnya dan perbatasannya. Pembahasan ini penting untuk membangun dan memperjelas istilah Ilmu.
Pertanyaan alternatif judul bab akan dibahas di sub bab 2.2, yang menjelaskan penjelasan mengenai perkembangan istilah Ilmu Pengetahuan Alam, sebagaimana tercermin dalam wacana dalam kebijakan kurikulum sains Indonesia selama tahun 1980an dan 1990an. Bagian akhirnya, sub bab 2.3, menarik bersama pembahasan wacana terbaru Ilmu Pengetahuan Alam yang disajikan dalam dua bab pertama, dengan beberapa kesimpulan pendahuluan, untuk memetakan langkah selanjutnya disertasi ini.
Sebuah proses kritik dan dekonstruksi konsepsi Pencerahan sains sebagai pengetahuan ‘murni’ telah berkembang selama 40-50 tahun terakhir (Hanson, 1958). Proses umum kritik sains ini telah diperbarui dengan perkembangan terbaru di bidang filsafat yaitu postmodernisme dan poststrukturalisme. Kedua wacana ini (dalam sains dan filsafat) terkait erat namun tidaklah identik, sehingga memperlakukan keduanya sebagai objek analisis yang terpisah, yaitu ‘pengetahuan sains’ dan ‘filsafat sains’. Pandangan ini tercermin dalam frase Richard Duschl (1985) ‘pengembangan eksklusif bersama’ untuk menjelaskan 25 tahun pendidikan sains dan filsafat sains. Begitu juga, Reuben Hersh (1994) mencatat bahwa ‘filsuf matematika mengabaikan matematika dan matematikawan’.
Dua jalur kritik penting dalam debat ini (dalam sains dan filsafat) datang dari feminisme dan anti rasisme (misalnya
Wertheim, 1997; Harding, 1993; Haraway, 2004), yang keduanya dapat dipandang sebagai klaim oleh kelompok-kelompok sub alternatif dalam masyarakat (Gramsci, 1992). Kelompok sub alternatif dalam masyarakat dapat memegang sudut pandang dan pengetahuan berbeda dari yang diwajibkan atau dipandang arus utama (misalnya permantraan dalam hal kedokteran). Salah satu tipe pengetahuan berbeda atau ‘subjugasi’ (Faucault, dikutip dalam Webster, 1996), yang telah luas dibahas dalam debat sains dan filsafat, adalah pengetahuan pribumi (Indigenous Knowledge – IK), Melayu Tua dapat dipandang sebagai contohnya. Sebagian karena perannya dalam debat filsafat (Loving, 1997), telah ada pengakuan ragu dari klaim IK untuk dipandang sebagai bentuk alternatif sains yang sah (Peters, 1993) – argumennya, dengan kata lain, untuk pandangan pluralis budaya sains (Hodson, 1999). Konsepsi pluralis terhadap sains sebagai sistem pengetahuan (Roberts, 1998) memberikan ruang untuk pertimbangan kliam IK (Henderson, 2000; Battiste, 2000) dan hal lain untuk status sains, namun tidak harus menunjukkan bahwa semua sains sama atau setara – ini tetap menjadi pertanyaan yang harus diselesaikan (Irzik, 2001).
Walaupun kata ‘sains’ dapat cukup berarti ‘pengetahuan sistematik,’ ia biasanya lebih tepat merujuk pada ‘sains alam’: yaitu fisika, kimia, biologi dan sub disiplinnya. Matematika, juga dipandang sains alam, namun biasanya diasingkan terpisah dalam kurikulum sekolah karena manfaatnya yang khas (Tymoczko, 1994; Hersh, 1994). Hal ini, kemudian menjadi makna asumtif kata ‘sains’, yang penting dalam mempertimbangkan posisi terdepannya dalam hirarki pengetahuan. Dalam literatur yang secara khusus mempertimbangkan hubungannya dengan bentuk pengetahuan kultural lainnya seperti mātauranga Māori (MoRST, 1995; Williams, 2001; Simon, 2003), makna ‘sains’ ini sering digantikan dengan penggunaan Sains modern barat (McKinley, 2005) Sains Barat(Roberts, 1998) atau Sains-B (Kawasaki, 2002). Penulis menggunakan istilah sains-B saat diperlukan di bawah untuk menghindari keraguan. Kemunculan banyak makna dan banyak ciri untuk ‘sains’(Aikenhead, 2000) menunjukkan sifatnya yang meragukan, yaitu perdebatan mengenai ‘apa yang dapat dinilai sebagai sains’ (Stanley and Brickhouse, 1994). ‘Sains sekolah’ misalnya, merujuk pada versi sederhana/disederhanakan dari sains sebagaimana disajikan dalam kurikulum sekolah tradisional, yang paling mungkin berperan sebagian dalam membangun dan mempertahankan makna ‘tak tertanda’ dan perbedaannya dari matematika. ‘Sains sekolah’ juga merupakan pendekatan yang berguna pada apa yang dimaksudkan oleh istilah ‘sains-B’ (dan istilah sejenis, lihat di atas) dalam literatur sains multibudaya.
Pandangan pluralis pada sains, yang merujuk pada defisinsi luasnya sebagai ‘pengetahuan sistematik’, membuka pintu masuk pada inklusi sejumlah besar basis pengetahuan, sebagai budaya manusia menjadi terpuaskan dan tersistematiskan (dengan bantuan sains-B dan teknologi-B). Kini menjadi sulit untuk mementukan daerah pengetahuan yang tetap pasti berada di luar gerbang sains pluralis (Irzik, 2001). Salah satu hasil pandangan pluralis sains karenanya adalah perlunya penggunaan istilah resmi seperti sains-B atau sains alam, saat kita ingin menggunakan makna ‘sains’ yang lebih terbatas, walaupun, seperti dicatat di atas, diluar kesarjanaan kritis, ‘fisika, kimia dan biologi’ tetap menjadi makna asli asumtifnya (Gregory, 2001).
2.1 Sifat Sains
Dalam salah satu studi paling terkenal pada sifat sains, Thomas Kuhn (1970) membahas penggunaan kata ‘paradigma’ nya pada makna ‘matriks disipliner’ dari generalisasi, keyakinan dan nilai simbolik serta seperangkat contoh atau penerapan pengetahuan matriks disipliner, dimana semua anggota masyarakat ilmiah tertentu bersatu untuk belajar, mengajar dan menerapkannya dalam praktek disiplin mereka. Kuhn menggunakan konsep paradigmanya dalam menjelaskan bagaimana kemajuan dalam sains dicapai. Ia menyarankan bahwa ‘sains normal’ merupakan penumpukan tetap pengetahuan dalam disiplin terspesialisasi, hingga informasi baru, atau kemajuan teknologi baru, mengkatalisis perubahan dalam sebagian aspek ‘matriks disipliner’ atau paradigma disiplin tersebut (dan masyarakat ilmuan, mahasiswanya dsb) yang disebut ‘revolusi ilmiah’. Ini adalah rumusan asli dari apa yang sekarang umum dirujuk sebagai ‘pergeseran paradigma’. Kuhn tertarik dalam memahami tampilan masyarakat ilmiah dan prakteknya yang memungkinkan sains tetap menumpuk pengetahuan. Ini juga merupakan kritik awal pada dogma yang diterima dari sifat imparsial dan objektif pekerjaan ilmuan dan manfaatnya yang tidak dipertanyakan dalam metodologi (seperti dalam metode ilmiah) untuk menilai kemajuan ilmiah.
Kuhn memperjelas (dalam postskrip pada edisi kedua studinya, diterbitkan dalam tahun 1970, tujuh tahun setelah kemunculan pertamanya) bahwa ‘teori atau seperangkat teori’ adalah istilah yang lebih tepat untuk sebagian besar dari apa yang ia sebut sebagai ‘paradigma’ dalam teks aslinya. Kuhn juga menyadari pentingnya ‘eksemplar’ dalam melokalisir dan mengkonkretisasi isi kognitif sains: ‘Dalam ketiadaan eksemplar tersebut, hukum dan teori yang dipelajarinya sebelumnya akan mengandung muatan empiris yang minim’ (hal. 188). Setelah mendapatkan fasilitas dalam disiplin ilmiah tertentu, Kuhn berpendapat bahwa para ilmuan bekerja dan berkomunikasi (dengan ilmuan lain dalam disiplin yang sama) dengan sejumlah besar ‘pengetahuan faham (tacit knowledge)’ yang bersama dengan ‘pengetahuan yang dipelajari’ menyusun paradigma ilmiah. Hal ini serupa dengan penjelasan Michael Polanyi mengenai kesadaran subsider dan fokal ilmuan (Kim, 2005) dan Kuhn juga mengakui hal ini dalam postskripnya (Kuhn, 1970, hal.191).
Karya Kuhn secara luas dipandang sebagai pembersih dalam pengembangan istilah paradigma penelitian dalam ilmu sosial. Malahan, karyanya dan perbedatan mengenai sifat sains secara umum tampaknya lebih penting bagi ilmuan sosial (Hoyningen-Huene dan Sankey, 2001) daripada bagi para ilmuan yang terlatih dalam fisika, kimia atau biologi, dari ranking dimana hampir semua guru sains diambil. Hal ini karena daerah terakhir dari sains-B ini masih berdasarkan sebagian besar pada model empiris disiplin tersebut, metode ilmiah serta pada akhirnya, alam semesta, yang berarti para ilmuan dalam bidang ini jarang memeriksa sifat realitas atau pengetahuan, yaitu isu ontologi dan epistemologi. Jelas, ada kebutuhan pada pelatihan guru sains untuk mengalamatkan pengabaian filosofis ini.
Walau begitu, Kuhn tidak memasukkan sains sosial kedalam pembahasan paradigmanya – ‘masih menjadi pertanyaan terbuka mengenai bagian apa dari sains sosial yang memiliki paradigma demikian’(Kuhn, 1970, hal.15). Dalam postskrip tahun 1970, mencerminkan resepsi karyanya dan istilah ‘pergeseran paradigma’ sebagai revolusi ilmiah, ia mengatakan:
Sejarawan sastra, musik, seni, perkembangan politik dan banyak aktivitas manusia lainnya telah lama menjelaskan subjek mereka dalam cara yang sama [sebagai perlanjutan periode terikat tradisi yang diperkini dengan jeda non kumulatif]. Bila saya ingin menjadi asli dalam melihat pada konsep seperti ini, maka adalah dengan menerapkannya pada sains, bidang yang telah sangat bergembang dalam berbagai cara (hal.208).
Kuhn menunjukkan disini bahwa ia menggunakan kata ‘sains’ dalam istilah tak tertanda (yaitu sainsB atau sains sekolah – lihat pembahasan di atas). Karenanya, dalam hal dimana Kuhn menggunakan istilah ‘paradigma’ atau ‘sains’, karyanya tidak secara langsung berlaku pada disiplin ilmu sosial seperti pendidikan. Cathleen Loving (1997) membahas penggunaan demikian dari studi Kuhn dengan judul ‘ekstrapolasi keraguan’. Makna baru dan diperluas dari istilah ini terus berkembang, namun dilihat dalam penggunaannya dalam wacana sains sosial kontemporer.
Sebagian besar dari apa yang dimasukkan Kuhn dalam ‘paradigma’ disiplin sains dirujuk sebagai ‘metodologi’ dalam sains sosial kontemporer, dengan pertindihan yang besar antara keduanya. Kuhn tidak membicarakan mengenai paradigma sebagai konsep realitas dasar ilmuan, walaupun, tentu saja, konsep tersebut inheren pada apapun yang sadar (Middleton, 1996). Walau begitu, dalam sains sosial masa kini, paradigma didefinisikan sebagai ‘jejaring premis epistemologis dan ontologis’ atau ‘seperangkat keyakinan dasar yang mengendalikan tindakan’ (Denzin dan Lincoln, 2000, hal.19). Perubahan perspektif istilah paradigma ini adalah point kunci karena ia telah memungkinkan (atau setidaknya menemani) perluasan istilah ‘apa itu sains’ untuk membawa pandangan pluralis pada sains.
Jadi pertanyaan ontologi dan epistemologi kurang penting dalam sebagian bidang sains, termasuk sains sekolah dan sains-B, dan lebih penting dalam bidang lain seperti sains sosial. Aspek filsafati ini menjadi memuncak dalam membahas klaim IK pada status sains. Menurut Elizabeth McKinley (1995, hal.69), ‘dalam tingkat filosofislah perdebatan terbesar antara sains positivis (dan pandangan sains lainnya) dengan pengetahuan pribumi ditemukan’.
Dan seterusnya …